MANTRI DATANG

358 30 0
                                    

Kembali ke Laras.

Jangankan malam, saat matahari mulai terik seperti ini saja rumah ini terlihat begitu sepi menyayat, liar tak terurus. Hanjuang tumbuh bak pagar di bagian depan menambah suasana terasa bak di kuburan.

Dedaunan kering pancit mulai terlihat berserak.

Laras kembali membuka pintu. Wajahnya cemas memandang ujung halaman yang merupakan jalan pergi dan datang bagi siapa saja menuju rumah ini.

Kembali pintu tertutup seiring dia mengangkat langkah meninggalkan ambang.

Sukesih menoleh ke arah pintu saat sang anak masuk kembali. Empat kali terhitung sejak dia mengatakan Pak Mantri tak lama lagi datang.

"Bagaimana, Nduk?" tanya Sukesih lemas.

Laras menggeleng.

"Belum." Hanya bilang begitu.

"Apa sebaiknya Laras kabari bapak, Bu?" ujarnya lagi.

Giliran ibunya diam, menggeleng pun tidak.

"Bapak harus tahu, Bu? Ini aneh menurut Laras."

"Bagaimana bisa sekarang Ibu lumpuh begini! Hanya dari kaki Ibu yang terus membengkak? Ini aneh, Bu."

Sukesih mengerti kepanikan anaknya, tetapi dia juga mengerti apa yang dialami Sadewa Putra. Dia tak mau merusak titian yang mulai dibangun paguyuban suaminya. Tidak.

Tok! Tok! Tok!

Bergegas Laras menuju pintu depan. Besar harapannya Pak Mantri datang biar semua jelas.

Krek!

Laras hanya bisa tertegun di ambang, tidak ada siapa-siapa di depan pintu. Seketika hidungnya bergerak kembang kempis saat dia merasa ada bau yang menyeruak dari bawah kakinya.

Laras berteriak seraya melangkah mundur.

"Akh!"

Di depan pintu sudah menggenang darah dan itu terlihat kehitaman.

Dengan tangan bergetar dia hanya bisa menutup mulutnya. Tatapnya masih tak lepas dari cairan menggenang merah.

Baru tersadar akan apa yang dia lihat. Tanpa menutup pintu dia berlari ke kamar ibunya.

Mencoba mengatur napas saat ibunya terlihat khawatir dari tatap dan kerut wajah. "Ada apa, Nduk!"

"Darah, Bu! Darah!"

"Darah?"

"Sekarang Laras yakin! Pasti ada orang yang tak ingin kita tinggal di sini!" ucapnya dengan wajah masih tegang. Peluh di kening mulai membutir dan sebuah ketakutan jelas tergambar di sana.

"Jangan bilang seperti itu, Nduk. Buang jauh prasangka buruk. Mungkin itu hanya darah ...."

"Darah apa coba sebanyak itu, Bu!"

Sukesih yang hanya bisa menggerakkan leher saja. Kembali mendongak dalam pembaringan.

Tok! Tok! Tok!

Laras kembali memandang ibunya, mengembuskan napas panjang seakan dia masih takut untuk kembali menuju pintu depan.

Kini ibunya terlihat pasrah. Dia hanya tergantung apa kehendak anaknya.

Tok! Tok! Tok!

Tiga kali pintu diketuk.

Tok! Tok! Tok!

 Bayangan Pak Mantri hadir, menggerakkan langkah Laras.

"Selamat siang!" Terdengar teriak suara dari depan pintu.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang