PINCANG

399 30 0
                                    

Di sisi rumah Sarmento.

Beberapa Panjak masih terlihat lalu lalang mengangkut beberapa peralatan. Tumpukan kuda kepang terikat rapi di antara pecut yang ujungnya digulung.

'Sadewa Putra' tertulis jelas dengan warna merah, tepat di bawah bulu suri kuda kepang yang terbuat dari helai ijuk enau.

Matahari nyaris setinggi satu tombak saat Sarmento keluar tanpa surjan, tetapi mengenakan gombroh lengkap dengan udeng.

"Pastikan semua peralatan sudah berada di atas gerobak!" serunya seraya melangkah menuruni undak yang menyatu dengan lantai teras.

Pengendali pedati sudah duduk di atas tanpa tali sais. Sarmento memilih menaiki gerobak paling depan saat dirasa semua sudah cukup.

Iring-iringan gerobak perlahan mulai bergerak meninggalkan halaman. 

Di bagian selatan terdapat pendapa kecil di mana Panjak sering memainkan alat gamelan, menghadirkan gending pengiring Jatilan.

Secercah sinar menerobos masuk melalui lubang angin yang ada di atas jendela. Terlihat sepasang mata yang terus mengamati hingga gerobak terakhir hilang di ujung halaman.

Rumah dengan dua tiang kayu berukir itu terlihat lengang, menyisakan pintu terbuka lebar seakan membiarkan sinar matahari menghangatkan sisi dalam ruangan.

"Le."

Suara seorang perempuan dari salah satu ruangan.

"Le!"

Satu langkah menapak hadir seakan menjawab panggilan suara.

Satu kaki setengah diseret, melangkah pincang menuju pintu kamar.

Krek.

Langkah itu berhenti di ambang pintu.

"Ambilkan ibu minum."

Buhuk! Buhuk!

Perempuan baya dengan rambut acak-acakan mencoba bangkit seraya terus memegangi dada.

Buhuk! Buhuk!

Satu anggukan dari ambang pintu lalu langkah pincang itu perlahan menjauh.

Buhuk! Buhuk!

Kembali perempuan itu merebahkan tubuh di ranjang kayu. Pahatan halus yang tergores menghiasi bagian atas memperjelas ukir patra.

Langkah pincang mulai menapak lantai kamar. Terseret kaki menuju ranjang.

Buhuk!

Satu tangan bergetar menyerahkan segelas minum kepada perempuan yang mencoba bangkit dari pembaringan.

"Sudah berangkat bapakmu, Le?" tanyanya dengan suara berat dan terdengar sedikit bergetar.

Dalam tiga tenggak, diserahkan kembali gelas dengan separuh air tersisa.

"Letakkan saja di meja."

Sang pemilik langkah pincang mengangguk kembali lalu meletakkan gelas.

"Buka jendela itu, Le. Ibu merasa gerah sekali."

Dengan pincang langkah itu menuju jendela. Ada yang terlihat aneh saat tangan itu membukanya. 

Sejenak angin menderu menerobos melalui jendela, menyapu rambut kusut sang pemilik wajah yang menatap langit biru.

Sejenak dia tersenyum. Deretan gigi dengan sisa makanan melekat menghiasi. Hidungnya bergerak kembang kempis dalam senyum lebar.

Wajah dengan satu mata rusak berlalu dari jendela. Tangan kiri yang selalu ditekuk di depan dada terlihat lebih kecil ukurannya dibanding lengan kanan.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang