EPILOG

581 26 5
                                    

Metromini menghentikan laju roda tepat di perempatan jalan.

Tiga perempuan turun, salah satunya tampak masih menunggu uang kembalian.

"Benar ini, 'kan? Iya, toh? Kita tidak salah toh?" ujar satu perempuan berkulit sawo matang kepada satu perempuan yang menggendong tas punggung.

"Iya, ayo!" sambarnya, perempuan yang tadi menunggu uang kembalian, sudah kembali tiba-tiba dan berjalan, sementara mobil di belakang mereka melaju meninggalkan kepul asap kehitaman.

"Ratmi, tunggu! Walah mbok ya, pelan-pelan toh!"

Yang dipanggil Ratmi, perempuan berwajah manis, hanya tersenyum lalu membalikkan badan.

"Ayo, cepat! Kita harus sewa ojek secepatnya," kata Ratmi.

"Apa ya tidak bisa kita cari minum dulu? Haus loh aku dari tadi."

"Ini."

Satu botol minum sudah ada di depan mata, perempuan yang menggendong tas tadi menyerahkannya.

"La ini punyamu kok, ya?"

"Sudah minum saja," katanya lalu berlalu dari hadapan sahabatnya.

Ratmi hanya tersenyum melihat kelakuan dua sahabatnya.

Meski memiliki nama sangat feminin, Darsi Rahayu ternyata tak membuatnya bersikap demikian.

Darsi tetap saja terlihat seperti preman. Berbeda dengan Srikandi. Mendengarnya berbicara saja seperti mendengar orang menembang, mengantuk.

"Sudah, ayo! Mau kita tinggal?" ujar Darsi.

"Darsi, jangan begitu. Kasihan Sri," ujar Ratmi.

"Lagipula manja sekali jadi cewek!"

"Ya, iyalah. Aku, 'kan cewek? Cewek banget begitu loh!" sambar Sri menyindir, lalu melangkah dan menyerahkan sisa air minum kepada Darsi.

Darsi menerima pemberian Sri seraya memutar bola mata, dan berkata. "Ya, iyalah. Cewek banget! Malah sampai-sampai kalau menginjak tahi ayam juga tidak gepeng."

"Sudah ah, sudah. Ayo!" ajak Ratmi.

"Masih jauh ya, Ratmi?"

"Jauh! Awas tumbuh itu bulu kaki," jawab Darsi tanpa diminta.

"Darsi?" ujar Ratmi menengahi.

"Entah. Malas aku kalau ngomong sama Darsi. Cewek kok ya tidak ada lembut-lembutnya."

"Eh, Jenang Gula! Memang perempuan harus sama seperti kamu, ya. Jadi cewek ya begini. Tidak gampang dimainkan laki-laki. Jangan kelemak-kelemek."

"Mboyak geneh," (Bodo amat), ucap Sri.

Ratmi benar-benar tak bisa menahan tawanya.

"Eh, kenapa kamu tertawa. Lucu, ya? Lucu? Loh toh, kamu lihat toh. Biar kelemak-kelemek begini lucu loh saya, Darsi. Itu buktinya, Ratmi saja sampai mesem-mesem begitu."

"Aduh! Bisa tidak sih ini si Sri kita tukar saja dengan ongkos ojek! Biar dibawa sekalian sama tukang ojeknya," geram Darsi.

"La toh? Cewek kok tidak ada lembut-lembutnya. Bagaimana ada cowok yang mau dekat. La wong ...."

"Bodo amat! Bodo amat!" sambar Darsi.

Mereka segera berlalu dari tepi jalan.

Meski perempatan, tak pula terlihat banyak rumah. Hanya ada beberapa lelaki yang duduk di sebuah gubuk bertulis 'Pangkalan Ojek'.

"Pada mau ke mana?" sapanya, satu lelaki yang tadi duduk di atas motor, mendekati.

"Mau ke Dusun Gedong Dalem. Berapa ya, Pak?" tanya Darsi.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang