BUNGKUK

304 25 1
                                    

"Semalam ibu kok tak mendengar kamu pulang, Nduk?"

"Bapak yang membukakan pintu," jawab Laras memunggungi ibunya, masih berselimut di atas tempat tidur.

Sukesih membuka tirai jendela kamar.

Srek!

"Kamu kenapa? Matahari sudah tinggi loh?"

"Bapak sudah pulang, Bu?"

"Sudah. Dia titip salam kepadamu."

Sukesih melangkah ke tepi tempat tidur dan bertanya, "Bagaimana kemarin?"

Laras tersenyum saat sang ibu mengelus rambutnya.

"Seperti biasa, Bu."

"Mandi sana biar tubuhmu segar lalu isi perutmu. Ibu mau ke kampung atas sebentar, mau beli perlengkapan dapur."

"Bangun, ah," sambung Sukesih.

Laras melihat jam dinding, menggeliat, lalu melihat pakaian yang dia kenakan sewaktu pulang.

"Bu!"

"Ibu sudah merendamnya," kata Sukesih meninggalkan kamar.

Dengan menggunakan jarit menjadikannya kemban, Laras beranjak dan setengah berlari menuju dapur.

Dengan cepat dia membuka pintu bilik mandi. Dilihatnya kerawangan sudah direndam bersama pakaian lain. Segera Laras melangkah cepat keluar menuju ruang tengah. Tampak Sukesih baru saja melangkah menapak halaman.

Kembali Laras ke dapur.

Laras jatuh bersujud di dalam bilik. Tangisnya pecah.

Ditatap lekat kebaya kerawangan, mengangkatnya. Bayang-bayang ketakutan semalam masih membekas. Matanya kembali basah.

Dia buka pintu belakang.

Krek!

Kerawangan basah berwarna hijau tua itu dia lempar dan jatuh di atas tanah.

Bok!

Laras menjatuhkan tubuh bersandar pada pintu. 

Brak!

Meremas rambutnya sendiri, sesenggukan dalam sedih.

"Ibu juga dulu sama seperti kamu, menjadi penari gandrung. Uang saweran dan uang pengganti keringat memang tak banyak, akan tiba bagi kita untuk tak lagi menari karena kesucian kita adalah jaminan."

Basah pipi Laras oleh air mata yang mengalir.

Laras bangkit. Dia berusaha tegar dengan yang telah terjadi.

****

Mencoba melupakan sejenak beban yang melanda.

Nasi di dalam piring sudah tersaji, lengkap dengan tumis kembang kates.

Laras begitu lahap. Perutnya kosong sejak kemarin malam.

Krak!

Laras menghentikan kunyah. Ada benda keras terasa tergigit.

Dengan jari dia mengambil benda itu.

Sebuah paku sepanjang setengah jarinya.

"Paku!"

"Bagaimana mungkin ibu ceroboh sampai ada paku di dalam sayur ini," batinnya.

Hilang nafsu makan seketika. Dia meninggalkan meja dan menuju bilik mandi tanpa berpikir kenapa sebatang paku bisa ada di dalam sayur.

Bur!

Bur!

Segar air sumur membasuh mulai dari ujung kepala, membasahi kemban basahan, dan itu mempertegas tubuh molek milik Laras.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang