TERENEN

364 30 1
                                    

Sepekan setelahnya.

Berbeda dengan para Jatilan. Meskipun tak perlu menguasai tari pada kegiatan sintren sesungguhnya, tetapi memang rutin bagi Laras untuk melatih gerak gemulai sehari sebelum tanggapan.

Empat Cantrik yang sering mendampinginya hanya menari, tak sampai pada aksi masuk ke dalam ranggap.

Terenen sebagai ajang melatih kekompakan kembali antar para Wiyaga untuk memainkan Lodang.

"Kamu tahu tidak kemarin? Begitu Pakde Jenggot mengumunkan bahwa kamu tak bisa tampil. Banyak sorak kecewa dari penonton," ujar Nuraini sebagai Cantrik.

Laras hanya tersenyum seraya terus menari memainkan sampur.

"Aku minta maaf. Bukan mak ...." Laras terus menari.

"Sebelum acara dimulai, Mbah Tulu mengumpulkan kami semua dan memberitahukan kalau sintren tak dimainkan. Aku turut prihatin atas apa yang menimpa ibumu, Ras." Masih Nuraini dengan terus pula menari di samping Laras.

"Cukup! Saya rasa cukup untuk terenen kita sore ini!" seru Mbah Tulu. Seketika para Cantrik dan Laras menghentikan tari.

Laras dan para Cantrik bergegas bubar dari halaman lalu melangkah menempati bangku yang sudah tersaji mangkuk-mangkuk kecil degan kerokan kelapa muda.

"Apa tidak ada niat bagi Mbah Tulu untuk meminta kalian menggantikan aku kemarin?" tanya Laras.

"Kamu itu cantik, Ras. Pesonamu begitu keluar, penuh daya tarik. Ya, aku pikir tak banyak perempuan yang bisa melakukannya. Sepertinya Sulasih memang sudah benar-benar merasuk dan menyatu dengan ragamu."

"Kamu bisa saja, Nur," balas Laras lalu menyendok kelapa muda.

"Kami juga kemarin bertanya-tanya tentang keadaanmu. Beruntung kamu tak apa-apa." Nuraini meraih mangkuk.

"Begitulah, Nur. Aku sekarang menempati rumah baru."

"Ya, aku tahu. Itu adalah rumah Pakde Sarmento dulunya."

"Ras, kalau kamu mau pulang biar Padlan yang mengantarkan," tutur Mbah Tulu yang sering terlihat mengenakan pangsi hitam.

"Baik, Mbah," lontar Laras singkat.

Mbah Tulu membiarkan para Cantrik duduk santai menikmati minuman khas setelah latihan.

"Ras, kamu tahu tidak? Kemarin kakangmu aku lihat juga hadir di antara penonton. Seperti biasa," kata salah satu Cantrik yang duduk paling ujung.

Laras membalasnya dengan senyum.

"Kenapa? Sepertinya kamu terlihat tak suka dengan kakangmu?" tanya Nuraini.

"Siapa bilang? Tidak kok, Laras tidak begitu," tampik Laras.

"Tatap matamu itu loh. Gampang ditebak!"

"Dari aku kecil, keadaannya sudah seperti itu. Ya, kasihan juga. Cuma mau bagaimana lagi," sambung Nuraini.

"Apa masih sekarang?" tanya Nuraini.

"Apanya?" balik Laras.

Laras menoleh ke sisi kanan, empat Cantrik lain masih terlibat cakap lalu membisikkan sesuatu di telinga sahabatnya.

"Terakhir aku masih ingat. Satu celana dalamku hilang saat aku mau memakainya dan baru tersadar. Ternyata itu sudah sekian kali. Hilang, Nur," beber Laras.

"Aku heran. Apa iya, diambil orang?" Nur mengernyitkan dahi.

"Entah, Nur. Mungkin aku lupa meletakkannya di mana."

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang