Malam datang merangkak perlahan, tetapi pasti menghadirkan gelap dengan sejuta misteri, membisu tanpa bising, menepi, sepi.
"Apa tidak sebaiknya kamu pertimbangkan permintaan bapakmu itu, Nduk?"
"Laras bukan tidak mau ikut dalam paguyuban bapak, Bu, tetapi Laras memang lebih menyukai sintren daripada menjadi Jatilan."
"Laras sudah tidak mau lagi membahas masalah ini. Semua sama saja. Mau jaranan, mau sintren, apa pun pilihannya. Kita ini juga pelaku budaya, 'kan?" bela Laras kali ini. Segera dia melangkah bergegas ke kamar meninggalkan ibunya.
****
Tok! Tok! Tok!
Pintu depan diketuk tiga kali.
Tok! Tok! Tok!
"Sih, Sukesih."
Bergegas beranjak seketika saat namanya disebut dari pintu depan.
Lampu pijar keperakan dari penerang ruangan tengah menjadikannya teras sedikit temaram.
Pintu terbuka.
Krek!
"Mas?"
"Ada sedikit urusan tadi hingga aku telat datang," ucap lelaki berbadan tegap dalam balut baju surjan, ikat kepala cokelat muda bermotif parang rusak.
"Maafkan aku. Aku terpaksa ...."
"Sudah, Mas? Aku dan Laras tidak mempermasalahkan mau tinggal di mana. Rumah ini sudah cukup nyaman bagiku."
"Laras sudah tidur?"
"Baru saja ke kamarnya."
"Nduk, Nduk!"
"Biarkan saja. Mungkin dia sudah tidur. Jadi bagaimana?"
"Entah, Mas. Aku sudah membujuknya, tetapi Laras memang benar-benar tak mau."
"Ya, sudah. Pelan-pelan saja. Aku melakukan ini demi kalian daripada Laras ikut ke paguyuban milik Tulu."
"Aku tahu, Mas, tetapi memang Laras belum bersedia untuk gabung."
Lelaki itu meraih tangan ibunya Laras. Gayung bersambut, satu pelukan di pinggang setelahnya.
"Aku sangat mencintaimu, Sukesih."
Sukesih mendongak dalam dekap sang lelaki.
Senyum mengembang, menarik kumis kasar itu ke sudut bibir. Sebuah balas tatap bagi perempuan yang memang memiliki rupa cantik. Tak bisa diungkiri, Sude Sukesih masih menyimpan pesona meski nyaris memasuki kepala empat.
"Aku juga sangat mencintaimu, Mas."
"Apakah Kang Mas, mau menginap di sini?" lanjutnya.
Sebuah geleng kepala, itu jawabannya.
"Duduklah barang sebentar, biar aku buatkan wedang, Mas."
****
Selang beberapa saat.
"Bagaimana dengan keadaan dan suasana rumah ini. Apakah kamu suka?"
"Suka, Mas. Sangat suka," jawab Sukesih.
Dengan segelas kopi mengepul dia meletakkannya di atas meja sisi kamar lengkap beserta tatakan gelas.
"Rumah yang penuh kenangan bagi kami." Lelaki itu bangkit dari pembaringan lalu duduk di sisi Sukesih. Dengan menarik sedikit posisi bokong beringsut ke depan.
Sukesih hanya tertunduk. Dia tahu, rumah ini memang bukan miliknya. Dia hanya hadir sebagai istri muda yang kini mewarisi kenangan mereka, kenangan suaminya dengan sang maru.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨
رعب𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟭 𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟯 𝗔𝗺𝗯𝗮𝘀𝘀𝗮𝗱𝗼𝗿'𝘀 𝗣𝗶𝗰𝗸 𝟮𝟬𝟮𝟰 "Aku hanya khawatir akan kelangsungan sintren kita. Tanpa Laras, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan p...