"Siapa, Bu?"
Seketika Laras memasang wajah tak suka saat mengetahui siapa yang datang.
"Mau apa kamu ke sini!"
"A ah, in a es."
"Jangan seperti itu, Nduk. Bagaimanapun dia kakakmu! Dia juga anak bapakmu, 'kan? Kalian saudara tiri. Jaga sikapmu."
Dengan tubuh bergetar karena satu kaki tak begitu kuat untuk menumpu lama, dia menyerahkan bungkusan yang sedari tadi ada di dekapan dada.
"I, i ... tang es," ucapnya.
Laras seketika membuang muka saat sang tamu menyodorkan bungkusan dengan satu tangan.
"Kembang kates?" timpal Sukesih.
Sang tamu mengangguk.
"Untuk kami?"
Dia mengangguk lagi.
"Terima kasih sudah repot-repot mengantarkan kembang kates untuk kami. Ayo, masuk dulu!"
"Nduk, buatkan wedang, ya."
"Aa u sah." Tergagap dengan menggerakkan tangan menolak terlihat kaku.
"Loh, kenapa?" tanya Sukesih.
Yang ditanya hanya tersenyum. Bibir atas bergerak-gerak seakan ada yang ingin dia ucapkan, tetapi urung dan berakhir senyum lebar memperlihatkan gusi dengan tangan cacat yang terus bergetar.
Tangannya lalu menunjuk lampu, isyarat baginya untuk mengatakan kalau malam makin larut.
"Aas."
"Apa! Sudah sana pulang!" bentak Laras.
"Nduk, jangan bersikap kasar seperti itu!"
Segera Laras pergi meninggalkan ruang depan untuk ke kamar dan melupakan makan malamnya.
"Jangan diambil hati, ya. Sikapnya memang begitu. Ibu minta maaf, ya?"
Tamu yang mengenakan ikat udeng di kepala dan berkalung sarung itu mengangguk lalu tertunduk dalam seakan ada kekecewaan di hati.
"Uu a lang," katanya seraya melangkah memutar badan dengan didahului dengan pegangan sisi daun pintu.
"Hati-hati, ya." Sukesih mengantarnya dengan tatap iba.
Bergegas Sukesih menyusul Laras ke kamarnya. Sukesih tahu, Laras tak pernah suka terhadap tamu yang mengantar kembang kates tadi.
****
"Jangan bersikap seperti itu kepada Kawir. Kalau kamu memang tak suka kepadanya, paling tidak jangan berucap kasar, Nduk."
"Laras tidak suka terhadapnya, Bu? Tingkahnya yang kurang ajar membuat Laras semakin tidak suka!"
"Kurang ajar bagaimana?" Sukesih duduk di sisi Laras.
Laras diam. Terbayang bagaimana Kawir berdiri mengintainya sewaktu ganti pakaian.
"Dia itu tidak normal seperti kita, Nduk. Mentalnya terbelakang. Kita yang waras harus memahami kondisinya, Nduk?"
"Pokoknya Laras risi kalau ada dia, lagi pula untuk apa malam-malam mengantarkan kembang kates. Seperti tidak ada hari lain saja."
"Kamu, 'kan paham Kawir itu bagaimana? Kalau ibu maklum. Pada dasarnya Kawir itu anak baik."
"Ya, sudah. Istirahatlah. Besok kamu harus bugar," sambung Sukesih lalu meninggalkan Laras.
****
Tak!
Tak!
Tak!
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨
Horror𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟭 𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟯 𝗔𝗺𝗯𝗮𝘀𝘀𝗮𝗱𝗼𝗿'𝘀 𝗣𝗶𝗰𝗸 𝟮𝟬𝟮𝟰 "Aku hanya khawatir akan kelangsungan sintren kita. Tanpa Laras, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan p...