UTUSAN MBAH TULU

383 31 0
                                    

Di rumah pemilik Turangga Puspa Bangsa.

Langit mulai lindap. Alunan suara gamelan terdengar bak lokananta dan terus mengalunkan gending.

Beberapa Jatilan baru saja usai melakukan latihan. Bahkan sampur berwarna hijau tua masih terlihat melilit pinggang.

Dua buah ular naga dengan kepala saling membelakangi menempati kedua ujung bubung rumah di mana tepat di tengah-tengah ekor mereka saling lilit. Itu terlihat dari sebuah seng penghias rumah dengan pelataran yang luas.

"Tidak biasa-biasanya dia datang terlambat seperti ini," katanya, satu lelaki yang mengenakan udeng dengan setelan pangsi hitam.

"Aku khawatir dia benar-benar tak datang," ucapnya lagi.

Sementara itu, satu lelaki yang berdiri di sampingnya hanya bisa menatap ujung halaman berpagar dengan gapura bentar.

"Dia anak yang disiplin. Mana mungkin dia lupa kalau hari ini dia harus mulai latihan menari lagi." Lelaki berpakaian pangsi tersebut lalu melangkah menuju kursi yang tak jauh dari para Wiyaga yang telah menghentikan alunan gamelan.

"Bagaimana ini, Kang? Apakah kita masih akan menunggunya?"

Yang ditanya hanya diam. Sekali dia menatap langit.

"Bila petang tiba, suruh Ajir serta Padlan menyusulnya. Cari tahu kenapa dia tak datang."

"Sandiko, Mbah," (Baik, Mbah)jawab lelaki yang tadi terlihat sebagai Panjak dengan empat gendang beda ukuran.

"Kehadirannya sangat penting bagi paguyuban kita. Daya tariknya, pesonanya, akan melengkapi puncak Jatilan serta Barongan. Aku harap dia bisa tampil besok," katanya. Sering dipanggil Mbah Tulu, pemilik Turangga Puspa Bangsa.

"Sudah kamu suruh pulang para Wiyaga?" imbuhnya.

"Sudah, Mbah," balas lelaki berjanggut juga mengenakan pangsi hitam.

Mbah Tulu, lelaki yang ditaksir masih kepala lima. Meski begitu, dia kerap dipanggil Mbah. Satu panggilan kehormatan bagi pemilik paguyuban.

"Banyaknya jadwal paguyuban yang ditanggap mungkin membuat dia sedikit lelah."

Mbah Tulu menoleh ke arah lelaki kepercayaannya, duduk di samping kanan, di atas anyam kursi rotan.

Mbah Tulu menggeleng. "Dia tak pernah lelah dengan budaya yang dia cintai. Terlebih paguyuban ini."

"Yang aku khawatirkan adalah desakan bapaknya untuk hengkang dari kita," sambung Mbah Tulu.

"Njenengan, ampun khawatir seperti itu, Mbah," kata lelaki itu mengusap janggut.

"Tanpa dia, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan banyak paguyuban lainnya," ujar Mbah Tulu.

"Kalau Njenengan berkenan, biarkan saya ikut menemuinya malam ini."

Mbah Tulu mengangguk, mengiyakan permintaan itu.

****

Sementara itu di halaman.

Warna jingga berpendar dari kaki langit sebelah barat sudah benar-benar hilang dalam rengkuh langit yang lindap.

Halaman yang sempat gelap sesaat itu kembali benderang oleh dua lampu pijar yang tergantung dalam tiang bambu. Meski satu persatu para Wiyaga dan juga penari Jatilan sudah kembali berdatangan untuk latihan.

Suasana hangat dalam cengkerama serta obrolan yang diakhiri tawa mengawali latihan yang sebentar lagi digelar.

"Siapkan kurungannya!" teriaknya, lelaki berjanggut kepada dua lelaki yang berdiri saling cakap.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang