GANTUNG DIRI

411 21 4
                                    

Kampung mendadak geger pagi itu.

Beberapa orang terlihat lari dengan panik. Mereka ingin melihat kebenaran berita yang terkabar dari mulut ke mulut tentang kematian Kawir.

"Alak masa Allah!" (Masa Allah!).

"Kok iso dadi ngene to, Wir, Kawir." (Kok bisa seperti ini toh, Wir, Kawir).

"Sebenarnya ada apa ini," ucapnya, satu lelaki yang berdiri menengadah memandang Kawir dengan lidah menjulur. Jerat jarit melilit lehernya.

"Kenapa dia harus mengakhiri hidupnya dengan gantung diri," gumam satu perempuan.

Belasan orang mulai berkerumun di bawah mayat Kawir. Masih tergantung, mata membelalak.

Bisik-bisik juga terdengar beberapa pendapat tentang kematian Kawir yang memilih gantung diri tak lain karena tak mampu bertahan hidup di kesendirian setelah orang tuanya lebih dulu meninggal.

Yatim-piatu itu tergantung dan belum ada upaya orang-orang untuk segera menurunkannya.

Satu-persatu orang-orang mulai berdatangan dengan cara berlari.

Rumah kini telah penuh dengan para warga.

"Jane areke yo, enggak aneh-aneh. Pepoyok kok yo, weroh coro ngakhiri urep. Kendat ngisan, he. Ngenes." (Sebenarnya anaknya tidak aneh-aneh. Anak cacat kok ya, tahu cara mengakhiri hidup. Gantung diri lagi, he. Memprihatinkan).

"Mbohlah. Kaitung gurung sampek patang puluh dino, kerandane Sarmento, kabeh matek. Onok opo iki." (Entah. Terhitung belum ada empat puluh hari, keturunan serta keluarga Sarmento semua mati. Ada apa ini).

"Jangan-jangan mereka mati memang ditumbalkan," sambar salah satu orang dari belakang.

"Siapa yang menumbalkan. Kalau iya, buat apa semua mati," ujarnya, lelaki yang berdiri paling depan menoleh ke belakang.

"Mungkin," ralatnya.

"Sudah. Ayo, turunkan saja mayatnya!" teriaknya, lelaki yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Apa tidak sebaiknya menunggu Kadus dulu?"

"Siapa yang sudah menyusulnya?"

Semua saling pandang, saling geleng.

"Li, Maruli, kamu tahu toh rumahnya Kadus kita?"

"Tahu, Kang," jawab Maruli.

"Ya, sudah. Cepat ke sana. Sampaikan kabar kalau Kawir mati gantung diri."

"Baik, Kang."

****

Matahari masih bersembunyi di balik dedaunan. Teduhnya tetap memberi hangat.

Maruli terus berlari menyusuri galang-galangan sawah. Cara tercepat untuk mencapai pusat desa.

"Onok opo! Kok pelayon koyok diuber demit!" (Ada apa! Berlarian seperti dikejar hantu!), teriaknya, satu petani berdiri memegang sabit serta setangkup rumput.

"Kawir kendat!" (Kawir gantung diri!).

"Masa Allah?" gumamnya seraya terus memandang Maruli yang berlari lincah meniti galang-galangan pematang sawah.

"Onok opo, Kang!" (Ada apa, Kang!), serunya, lelaki dengan separuh kaki terbenam ke lumpur sawah.

"Kawir!" balasnya.

"Lapo Kawir!" (Kenapa Kawir!).

"Kek!" jawabnya dengan membuat gerakkan menggorok leher menggunakan sabit.

"Matek! Kendat." (Mati! Gantung diri).

"Iyo, jare! Wes, ayo mrono!" (Iya, katanya! Sudah, ayo ke sana!).

****

Bisik-bisik serta anggapan penduduk kampung masih saja terdengar.

Kesimpulan demi kesimpulan mereka sampaikan bahkan berbagai anggapan masih mereka terka.

Enam nisan kayu tertancap, berjajar, menyisakan bunga tabur beraneka rupa, bahkan bau tanah layat masih jelas terasa.

Mulai dari paling ujung kuburan Kati, empat lainnya diapit oleh Kawir.

Matahari mulai condong. Angin mulai mengusik ketenangan pucuk-pucuk dedaunan hutan kecil, seakan-akan menjadi pembatas dengan rumah semi permanen di seberangnya.

Rimbun pancit masih terlihat pada bagian atas. Jelas di bawahnya sebuah rumah yang terlihat lengang kini, tak lagi berpenghuni.

****

Kampung kembali geger dengan berita serentetan kematian keluarga Sarmento. Semua membicarakannya, bahkan di sebuah warung pagi itu.

"Tidak ada lagi yang tersisa dari keluarga Kang Sarmento."

"Iya, bahkan anak cacat itu juga tak luput dari kematian," balas lelaki yang duduk di dekat pintu masuk.

"Sampai sekarang belum ada kabar pasti. Apa yang sebenarnya menimpa mereka?"

"Ah, sudahlah. Aku harap jangan ada lagi korban. Aku harap kematian Kawir adalah yang terakhir."

"Besok-besok juga akan ada orang yang mati."

"Paling tidak, matinya wajar. Selama ini kampung kita belum pernah ada berita yang saling mengaitkan akan kematian seseorang. Baru ini, 'kan?"

"Iya, juga. Enam kuburan. Enam loh, Jo."

"Entenono seng ke pitu," (Tunggu saja yang ke tujuh), kata lelaki berkumis tebal dengan pakaian serba hitam yang baru saja meninggalkan salah satu meja.

Lelaki itu tak lain adalah Mbah Gundal. Berjalan keluar meninggalkan misteri dari ucapan seorang dukun.

Keduanya saling tatap penuh tanya akan misteri ucapan dukun itu.

SEKIAN.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang