Laras sudah memutuskan untuk memilih tinggal di rumah saja sembari menunggu kabar dari Kang Jenggot, dari pada tinggal di rumah Mbah Tulu. Bukan tanpa sebab, dia masih malu dengan Turangga Puspa Bangsa yang gagal karena pantangan yang dia sandang.
Meski sudah sembuh dari bendung segara, tetapi pesan Mbah Gundal masih dia laksanakan, tidak tidur di atas ranjang.
Hanya ceret dan gelas saja yang ada tak jauh dari tikar. Bukannya tak lapar, tetapi Laras benar-benar hilang selera memikirkan ibunya yang dibawa Kang Jenggot ke kota.
Bahkan sampai dengan dibawa, ibunya pun belum kunjung ada perubahan. Mulut dan mata sama lebarnya. Entah apa yang dia lihat, sepertinya ibunya mengalami sakit yang teramat hingga pasrah dalam keadaan ternganga.
Semua sudah dia curahkan ke Mbah Tulu dan justru pada saat-saat seperti ini Sarmento, bapaknya belum juga kembali.
Laras menoleh ke arah ceret. Segera dia menuang isinya.
Krek.
Jantungnya berdegup. Jam sepuluh malam tepat saat Laras melempar selayang pandang ke arah jam.
Laras melangkah pelan mendekati pintu kamar yang sudah dia tutup rapat, menguncinya bahkan.
Tidak dengan membukanya, tetapi menempelkan telinga ke daun pintu.
Tidak terdengar apa-apa.
"Aku jelas mendengar pintu terbuka," batinnya.
"Mungkin ibu? Apa iya ibu sudah pulang, tetapi kenapa secepat itu? Bagaimana kalau itu bukan ibu, tetapi ... bagaimana bila memang benar ibu yang pulang?" Sejuta tanya berkecamuk.
Duk!
Duk!
Duk!
Duk!
Terdengar derap kaki di balik pintu. Laras mendekap dada bahkan bila itu ibunya kenapa dia tak memanggil nama Laras.
Suara itu hilang, berganti detak yang terdengar keras. Detak jantungnya sendiri mengalahkan detak jarum yang menggema sedari tadi.
Laras memutuskan untuk mengobati rasa penasaran, beranggapan kalau ibunya pulang dan enggan membangunkan dirinya.
Krek.
Ruangan memanjang yang temaram membaur sorot cahaya kamar saat satu langkah Laras keluar dari pintu.
"Bu?" panggil Laras lirih.
Dengan merayap di dinding, Laras terus melangkah perlahan-lahan menuju ruang tengah.
Semua yang dia alami, semua yang dia lihat selama ini menyeruak tiba-tiba, menghadirkan takut. Ya, Laras takut, wajahnya berubah tegang tertutup rambut yang tergerai.
Tak berani dia melihat pintu luar. Tepat kini dia di ujung ruangan, hanya kedua tangan yang dia satukan di depan dada. Dia takut kalau hal menakutkan akan datang menjelma.
Perlahan wajahnya tampak dari ujung dinding papan. Matanya tajam melirik pintu.
Tertutup sedikit celah pun tak terlihat.
"Jelas tadi aku mendengar suara pintu itu terbuka juga suara langkah."
Laras segera berlari menuju kamar, tempat yang dia anggap aman dari semua yang tak kasat.
Akan tetapi, langkahnya terhenti persis di depan pintu. Dia berdiri mematung dengan kaki bergetar. Dia merasa ada yang menatapnya di ruangan ujung, di depan pintu kamar ibunya.
Laras mencoba menoleh. Wajahnya pucat sudah. Semua hal yang pernah dia alami seakan nyaris terulang.
Peluh mulai mengalir, bibir bergetar, itu gambaran ketakutannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨
Terror𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟭 𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟯 𝗔𝗺𝗯𝗮𝘀𝘀𝗮𝗱𝗼𝗿'𝘀 𝗣𝗶𝗰𝗸 𝟮𝟬𝟮𝟰 "Aku hanya khawatir akan kelangsungan sintren kita. Tanpa Laras, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan p...