Laras masih berdiri di depan cermin. Beberapa benjolan terus mengeluarkan nanah. Wajahnya bergidik ngeri saat dia mengambil sesuatu berwarna buram putih kekuningan dari satu benjolan mengering pada bagian ujung jari.
Laras segera membuangnya ke lantai saat dia tahu bahwa itu adalah belatung. Bau menyengat seperti daging busuk semakin santer tercium.
Tangannya meraih gagang lemari, meraih sampur yang biasa dia kenakan sewaktu menjadi Paripurna.
Semua tinggal kenangan, bahkan belum juga dia mendengar paguyuban tempatnya bernaung menggelar jaranan dan sintren lagi. Paguyuban Turangga Puspa Bangsa seperti ikut mati dengan keadaannya kini.
Perlahan dia membentangnya lalu melingkarkan sampur ke pundak kemudian sedikit bergeser menghadap cermin.
Kulit halusnya sudah berubah menakutkan bahkan beberapa bagian terlihat mulai mengerut.
Sorak penonton seakan kembali terdengar saat-saat dia keluar dengan menggunakan sampur ini. Decak pujian akan terus mengalir sampai tahap lempar uang usai.
Laras mengembuskan napas panjang. Semua harus berganti dengan penderitaan. Duka atas ibunya yang berpulang makin membuat jiwanya lemah tak berdaya.
Dia terus menatap cermin hingga akhirnya menoleh cepat ke arah pintu yang terbuka. Sekelebat dia melihat ibunya berjalan.
"Bu?"
Laras segera menyusulnya andai itu adalah Sukesih.
"Bu?"
Tak ada siapa pun.
Selayang pandang lurus hingga ke depan pintu kamar ibunya juga tak terlihat.
Laras masih terpaku di depan pintu saat Sukesih keluar dari pintu dapur menuju kamar.
"Bu?" Segera Laras mengikutinya.
Krek.
Brak!
Pintu kamar tertutup.
"Bu. Apakah Ibu, sudah pulang? Buka, Bu."
Laras terus mencoba membuka pintu kamar Sukesih dengan terus mencoba menggoyangkan gagang.
"Buka, Bu!"
Krek.
Pintu terbuka.
Tak ada siapa-siapa. Tempat tidur itu kosong.
Laras masih berdiri dengan memegangi gagang pintu. Dia sadar kalau ibunya sudah terbaring dengan hiasan nisan di pekuburan.
Perlahan dia kembali menutup pintu. Surut beberapa langkah ke belakang, tetapi betapa kagetnya saat sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan jari hitam berkuku panjang.
Sontak Laras menoleh ke belakang, pun tidak ada siapa-siapa, tetapi mendadak perutnya mual oleh bau yang begitu kuat menyengat, bau bangkai.
"Uek!"
Laras nyaris mengeluarkan isi perut di depan pintu. Rasa takut yang tadi menyergap kini hilang berganti dengan isi perut terasa ingin berontak keluar.
Dengan bersandar pada satu tangan di dinding dia terus memegangi perut. Bau busuk itu terlewat tajam.
"Uek!"
Dengan sedikit menunduk Laras berlari menuju kamar.
Menutupnya.
Brak!
Benar apa yang dia lakukan. Bau busuk itu perlahan sirna dari penciuman, tetapi mual yang amat terus memaksa Laras tak menyadari di mana dia kini.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨
Terror𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟭 𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟯 𝗔𝗺𝗯𝗮𝘀𝘀𝗮𝗱𝗼𝗿'𝘀 𝗣𝗶𝗰𝗸 𝟮𝟬𝟮𝟰 "Aku hanya khawatir akan kelangsungan sintren kita. Tanpa Laras, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan p...