Kicau burung perenyak yang bertengger di balik jendela membangunkan Laras dari malam panjang nan menakutkan.
Bau busuk seketika santer di penciumannya. Dia tahu yang terjadi. Segera dia merangkak untuk sampai di depan cermin.
"Akh!" Laras histeris. Mukanya sudah tak lagi seperti dulu. Benjolan yang memenuhi wajah sebagian telah pecah. Nanah meleleh mengeluarkan bau busuk.
Tangannya bergetar. Tak berani sedikit pun dia menyentuh wajah lalu dengan panik dia memperhatikan sekujur tubuh, benjolan itu sudah memenuhinya.
"Akh!"
"Akh!"
"Oh! Oh!" Laras menjauh dari cermin, menghempaskan tubuh di tepi ranjang.
Semua campur aduk yang dirasa. Di saat dia menunggu kabar ibunya, kini dia sendiri harus mengalami hal yang tak masuk akal.
"Santet laknat!" ucapnya geram lalu melangkah menuju dapur.
****
Di dapur.
"Aku yakin benda keparat itu ada di sekitar sini!" batinnya dengan terus membongkar segala perabotan, membuangnya hingga semua terserak di lantai.
Prang!
Prang!
Semua benda pecah belah jatuh berai ke lantai hingga akhirnya dia terduduk dengan terus menangis.
"Kepada siapa aku harus meminta maaf. Hu hu hu."
"Aku mohon! Ampuni aku. Hu hu hu."
Putus harapan saat dia tak juga menemukan buhul yang dimaksud.
"Haruskah aku meminta bantuan Mbah Gundal lagi?"
"Ya, aku harus menemuinya! Hanya dia yang bisa membantuku!"
Laras segera beranjak, tetapi urung langkahnya bergerak. Gatal itu kembali hadir, membuat jarinya bergerak untuk menggaruk.
"Akh!" Laras menangis sejadi-jadinya. Rasa gatal yang serta-merta muncul bukan main menyiksanya. Menggaruk jelas tidak mungkin, bisa terkelupas habis semua kulitnya yang penuh dengan benjolan bernanah itu. Menahan rasa gatal sungguh suatu siksa baginya.
Dengan terus terisak dia berlari kembali menuju kamar.
Aneh. Mendadak rasa gatal itu hilang.
"Kenapa gatal ini hilang seketika sesampainya aku di kamar?"
Laras terus mengamati sekujur tubuh. Bau busuk yang terus mengikutinya memang berasal dari sana.
"Kenapa harus berakhir seperti ini. Kenapa!"
Tubuhnya melorot, terduduk melipat lutut. Terdengar pula tangisannya yang meratap. "Hu hu hu."
"Bapakmu tidak memaksa hanya keinginannya agar kamu tetap dalam pengawasannya."
"Laras sudah besar, Bu? Untuk apa bapak terus mengawasiku."
"Jaga ucapanmu, Laras!"
Terlintas apa yang ibunya katakan tempo hari.
Besar anggapan kalau dirinya telah diguna-guna oleh bapak tirinya sendiri.
"Aku tak menyukai jaranan! Aku tak mau jadi Jatilan. Apa aku salah! Hu hu hu."
"Bu, celana dalam yang Laras jemur kok tidak ada?" ucapnya kala itu.
"Mungkin kamu saja yang lupa taruh, Nduk," jawab Sukesih.
"Tidak ada, Bu!" teriak Laras keluar masuk pintu dapur.
Laras mencoba mengingat-ingat segala kejadian yang merujuk. Dia berkeyakinan kalau yang diderita selama ini adalah ulah bapak tirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨
Horror𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟭 𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟯 𝗔𝗺𝗯𝗮𝘀𝘀𝗮𝗱𝗼𝗿'𝘀 𝗣𝗶𝗰𝗸 𝟮𝟬𝟮𝟰 "Aku hanya khawatir akan kelangsungan sintren kita. Tanpa Laras, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan p...