Pricilla duduk termangu, kedua tangannya menopang dagu.
Setelah lonceng istirahat berbunyi, dia bergegas pergi menuju kantin seorang diri tanpa mempedulikan Tania dan Jesica.
Kejadian pada malam minggu membuat dirinya terganggu. Rasa takut seakan sulit untuk berlalu. Rasa trauma kian kalut memporak-porandakan jiwa dan kalbu.
Seakan tidak ada tenaga. Seluruh jiwa laksana tersedot begitu saja. Padahal selama satu hari kemarin ia beristirahat sepanjang hari.
Sekelebat bayangan boneka hantu terus berputar di kepala. Seperti enggan untuk pergi dan hirap begitu saja. Dengan betahnya bayangan itu bersamayam sepanjang harinya, siang dan malam menghantui Cilla hingga nyaris gila.
Cilla yang tidak bergairah. Dia menatap kosong ke segala arah, laksana 'tak ada satu pun yang bisa mengembalikan jiwanya. Bahkan satu mangkuk bakso pedas tidak menggugah selera. Bakso itu dibiarkan dingin dengan sendirinya. Minuman boba yang mengembun, pertanda es batu di dalam sana mulai mencair dan bercampur dengan minuman manis itu.
Dua puluh lima menit Cilla nampak bergeming. Tidak ada pergerakan dari anggota tubuhnya. Mata hitam legamnya tidak berkedip sedikit pun. Rambut panjang bergelombang dibiarkan melambai tertiup angin.
Gemuruh siswa-siswi seantero sekolah seakan tidak didengarnya. Padahal kebisingan nyaris membuat sakit telinga. Seakan tak ada jiwa dalam raga, dia duduk bak patung manusia.
Keberadaannya menjadi tontonan setiap siswa. Bisik-bisik kian merajalela. Dengan kompak mereka buka suara merasa penasaran dengan apa yang menimpa pada Cilla.
Kedua temannya berjalan mendekat ke arah Cilla. Dengan tergesa hingga sampai jua di sana. Dia tak juga menyadari kehadiran mereka, keduanya bertingkah jahil dengan cara mengangetkan Cilla.
"Duarrr!" teriak mereka bersamaan.
Cilla terlonjak kaget, kedua matanya mengerjap disertai detak jantung yang berpacu dua kali lipat.
"Lo berdua gila!" Cilla nampak marah. Dia menatap nyalang ke arah sahabatnya.
"Gimana kalau gue mati gara-gara jantungan!" sungutnya.
Jesica hanya bisa diam. "Sorry, Ci," cicitnya pelan.
Namun, tidak bagi Tania. Gadis berambut pendek itu tidak takut sama sekali jika sosok Cilla marah besar kepadanya. Menurut dia, itu merupakan hal biasa dan tidak perlu dibawa suasana.
"Abisnya sih, Lo ngelamun." Tanpa peduli Cilla yang merasa kesal kepada keduanya, dengan wajah tanpa dosa Tania mendaratkan bokongnya seraya menarik minuman boba milik Cilla.
"Kasian minumannya dianggurin." Cilla mendengus kesal, ketika Tania menyeruput boba miliknya. Sedangkan Jesica, gadis itu terkekeh geli melihat tingkah Tania.
Keheningan menghiasi ketiganya. Sehingga dua pemuda tampan terlihat berjalan seraya membawa nampan berisi 4 mie ayam dan 4 ice mocacino.
"Ini makanannya nyonya kadal," ucap Caesar kesal. Dia menyodorkan pesanan Tania dan Jesica secara asal hingga nyaris tumpah.
"Pelan-pelan, dong!" semprot Tania kala cairan warna moca itu sedikit bergoyang.
"Sorry, sengaja." Caesar duduk tanpa menghiraukan Tania yang mulai kesal kepadanya. Sungguh dia tidak peduli. Seharusnya dirinyalah yang marah kepada Tania dan Jesica. Bisa-bisanya kedua wanita itu menyuruh dirinya beserta Raihan untuk membawakan pesanannya. Betapa kesalnyaa ketika Caesar harus mengantri terlebih dahulu dan mengalah kepada ciwi-ciwi yang nampak cerewet dan berisik.
Raihan tidak seperti Caesar. Dia duduk dengan santai lalu meletakan minuman milik jesica dengan pelan. Tanpa mau berbincang, laki-laki berparas tampan itu segera menyantap makanannya penuh khidmat.
Semua memakan makanannya tanpa ada yang bersuara termasuk Cilla. Meskipun baksonya sudah nampak dingin dia tetap memakannya sedikit terpaksa. Dia tidak mau buang-buang uang begitu saja, sebab dia tahu mencari uang itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Betapa sulitnya mendapatkan uang miliaran rupiah itu, kedua orang tuanya harus rela bercucuran keringat demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ya, meskipun Cilla kerap menindas mereka yang tak punya apa-apa, tapi dia tidak pernah bersikap boros sedikit pun.
Entahlah, rasanya jika tidak membuli rakyat miskin seperti ada yang kurang di dalam hidupnya. Mungkin, itu sudah menjadi kebiasaan buruk bagi Cilla.
Tidak membutuhkan waktu lama, semua sudah selesai dengan acara makanannya. Mereka dibuat sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa mau menyapa satu sama lain, padahal satu hari mereka tak berjumpa dan di hari senin ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama.
"Ci, tadi kenapa, kok, Lo ngelamun sih?" Tania sedikit tidak suka dengan suasana yang begitu canggung. Saling diam dan mengabaikan, uh sungguh hal yang membosankan.
Cilla masih terlihat diam. Dia menimbang-nimbang apakah dirinya harus bercerita atau tidak.
"Eh, kan hari sabtu kita itu ngikutin Agni," Raihan buka suara. Dia yang akan memulai untuk bercerita.
Sedikit menarik, mereka beralih menatap ke arah Raihan, begitu juga dengan Cilla.
"Tahu, tidak. Pas malam harinya, tepat pada pukul 12.00 malam aku dikejutkan dengan sosok boneka yang menyeramkan." Sontak, semua terkejut bukan main. Mereka saling pandang satu sama lain, seakan-akan apa yang Raihan ucapkan tengah menimpa pada malam-malam mereka.
Termasuk Cilla, gadis itu dibuat menganga, bahkan bola matanya membulat sempurna bak mata boneka panda.
"Lo-lo serius?" tanya Caesar tergagap. Semua mengangguk kompak memastikan.
Begitu pun dengan Raihan, dia mengangguk yakin.
"Serius, gue gak bohong." Raihan menerawang mengingat kejadian di mana ia tengah dikagetkan dengan boneka hantu itu.
"Kalau gitu, gue juga sama," ucap Cilla pelan, tapi masih bisa di dengar oleh yang lainnya.
"Gue juga," timpal Caesar.
"Gue juga sama," sahut Tania dan Jesica bersamaan.
Semua saling melempar pandang merasa ada kejanggalan. Hening sesaat, mereka berpikir keras berusaha menguak serta mencari solusi apa sebenarnya yang terjadi saat ini.
"Ini aneh," gumam mereka.
"Sebentar." Tania memicingkan matanya. Dia menilisik ke arah Raihan meminta penjelasan.
"Mungkin saja cerita kita berbeda," ujar Tania. "Coba, ceritakan kejadian boneka hantu yang menimpa pada diri Lo!" Tania akan mengorek keganjalan ini berdasarkan kisah-kisah dari ke empat sahabatnya.
"Jadi begini ...." Raihan mulai menceritakan kejadian pada malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gedung Kematian (END)
HorrorKembalinya hanya untuk meminta keadilan. Menuntut dan membalaskan semua rasa sakit, sebab setiap perbuatan harus dibalas dengan setimpal. Seperti rasa sakit harus dibayar dengan rasa sakit, penderitaan dengan penderitaan, kehancuran dengan kehancura...