Di bawah senja yang terhampar indah di langit sana, seorang gadis dengan pakaian kotor, rambut berantakan, wajah kusam, bola mata bengkak, tanpa alas kaki tengah berlari di pinggir jalan.Sebisa mungkin dia mengambil langkah lebar meskipun jarak menuju gedung kosong itu cukup jauh. Namun, dia tidak mengeluh. Hanya bermodalkan tekad dia terus berlari tanpa peduli pada diri sendiri. Peluh lelah mencuat di sekitar wajah, keringat sebesar biji jagung menggantung pada pelipisnya, bahkan telapak kaki gadis itu terasa panas dan perih akibat bergesekan dengan aspal.
Mungkin akan ada banyak orang yang memperhatikan dirinya layaknya gembel, tapi sekali lagi dia tetap tidak peduli sebab yang saat ini ia pedulikan adalah kondisi Raihan. Apa pun caranya Agni bertekad untuk menyelamatkan pria itu meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat, senja kemerahan sudah tak nampak tergantikan dengan gelapnya awan hitam. Suara adzan magrib berkumandang saling bersahutan, tapi gadis itu tetap melanjutkan aktivitasnya menghiraukan rasa lelah.
Saat fokus dengan kondisi Raihan dan jalanan sekitar, tiba-tiba sebuah taxi menepi di samping kanan Agni. Sesaat langkahnya ikut terhenti. Bola matanya menatap lekat ke arah taxi tersebut.
Terlihat kaca pengemudi menurun hingga memperlihatkan seorang pria berkepala empat. Pria itu tersenyum hangat menatap lekat ke arah Agni.
"Mau kemana, Dek?" tanya Bapak itu."Kok, lari-lari?" Bapak itu kembali bertanya merasa penasaran dengan anak muda yang ada di sampingnya.
Agni terlihat bergeming disertai deru nafas yang memburu.
"Sini biar Bapak antar." Melihat tidak ada jawaban dari sang empu akhirnya Bapak itu memberikan tawaran merasa kasihan melihat kondisinya yang cukup berantakkan.
Agni tampak berbinar mendengar tawaran dari Bapak itu. "Beneran, Pak?" tanya Agni memastikan.
Si Bapak mengangguk dengan senyuman mengembang.
Tanpa menunggu lama Agni lantas beringsut menaiki taxi tersebut."Adek, mau kemana?" tanya Pak Burhan di sela-sela perjalanannya.
"Ke gedung tua, Pak. Letaknya di dekat hutan dan pemakaman umum surya Kencana," balas Agni.
Kedua bola mata Bapak itu membelalak kaget ketika mendengar nama gedung yang terpencil dan tidak pernah sedikit pun dijamah oleh manusia."Beneran, Dek, pergi ke sana?" Pak Burhan kembali bertanya memastikan bahwa gadis ini benar-benar akan menuju ke sana.
"Iya Pak," sahut Agni.
Si Bapak mengembuskan nafas pasrah. Dia tidak lagi melemparkan pertanyaan meskipun rasa penasaran saling berseteru di dalam jiwanya. Ia tidak mau ikut campur ke dalam urusan orang, memberikan pertolongan pun rasanya sudah lebih dari cukup.
Hening tidak ada lagi pertanyaan dan percakapan lainnya. Mobil itu melaju membawa pergi mereka ke tempat yang Agni Minta.
°°°
Taxi tersebut berhenti di pinggir jalan yang hanya mengandalkan tanah merah. Cepat-cepat Agni keluar dari dalam. Namun, Pak Burhan menghentikan aktivitasnya.
"Hati-hati, ya, Dek," ucap Bapak itu seraya menatap penuh kekhawatiran.
Agni mengangguk disertai dengan senyuman manis mengembang di bibirnya meyakinkan sang Bapak bahwa dirinya akan baik-baik saja. Agni lantas keluar dari dalam mobil seraya melambaikan tangannya pada taxi yang berputar arah lalu melaju pergi meninggalkan tempat ini.
Kedua bola mata Agni menatap sekitar ditemani cahaya dari benda pipihnya. Terlihat pohon besar berjejeran, semak belukar setinggi dada, rerumputan setinggi mata kaki menyambut kedua langkah kakinya. Tidak lupa di samping kiri terdapat pemakaman umum yang sudah tidak terawat sedikit pun.
Cepat-cepat Agni beringsut mengikuti jalan setapak menuju gedung itu ditemani embusan angin yang memberikan hawa dingin serta alunan melodi burung hantu yang menjadi pengantar langkah kakinya.
Tatapannya membola ketika mendapati sebuah bangunan tua berdiri kokoh di hadapannya. Gedung itu diselimuti oleh lumut hijau serta akar tanaman merayap masuk ke dalam. Suasana gedung itu terlihat mengerikan membuat bulu kuduk Agni meremang.
Agni berusaha meyakinkan hatinya untuk memasuki gedung tersebut, meskipun rasa takut tidak bisa dipungkiri, tapi demi menyelamatkan sosok dicintai dia rela mengubur rasa takut itu dan merubahnya menjadi sebuah keberanian.
Perlahan kakinya menerobos masuk ke dalam gedung itu. Hawa dingin semakin menjadi bahkan menusuk tulang-tulangnya. Bermodalkan sinar handphone Agni menyusuri ruangan itu. Meskipun penampakkan yang tertangkap oleh mata telanjang hanyalah gelap mencengkam serta barang-barang usang yang mampu disinari oleh cahaya handphone.
Agni terus berjalan menyusuri setiap ruangan. Rupanya gedung tua ini dahulunya merupakan sebuah hotel mewah. Dapat dilihat dari peninggalannya. Di lantai dasar sana terdapat meja resepsionis, ruang tunggu, lift, serta eskalator yang sudah tampak rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gedung Kematian (END)
HorrorKembalinya hanya untuk meminta keadilan. Menuntut dan membalaskan semua rasa sakit, sebab setiap perbuatan harus dibalas dengan setimpal. Seperti rasa sakit harus dibayar dengan rasa sakit, penderitaan dengan penderitaan, kehancuran dengan kehancura...