Cakrawala berubah kelam, hari berganti malam, sang mentari tergantikan oleh rembulan ditemani gemintang bertaburan di angkasa sana.
Mobil sedan berwarna hitam menepi di sebuah gedung kosong yang terletak di tengah hutan. Gedung tua dimakan usia tampak gelap tanpa ada satu pun sinar cahaya ditambah tanaman akar merayap masuk melalui celah kaca yang hancur tidak terbentuk. Tidak hanya itu, lumut pun ikut serta mewarnai gedung tersebut kian menjadi hijau tua. Sudah hampir setengah abad gedung itu berdiri kokoh tanpa ada satu pun manusia menjamahnya. Terkadang hanya digunakan untuk melakukan perbuatan keji atau hal-hal yang menyeleweng dari ajaran agama, tak heran jika ditatap oleh mata telanjang gedung itu terlihat angker dan menyalurkan aura mistis pada siapa pun yang mengunjunginya.
Kelima muda-mudi kelas XII Bahasa 1 tengah berkumpul berbaris memandangi gedung tersebut. Terlihat gelap di dalam sana sehingga membutuhkan bantuan cahaya guna menerangi perjalanan mereka. Embusan angin malam menyambut kedatangan mereka mengantarkan aura mistis yang menguar begitu kuat membuat bulu-bulu halus disekitar tangan dan kaki mendadak berdiri sendiri.Keraguan tersirat di wajah mereka: rasa takut, gelisah, dan khawatir berpadu menjadi satu tergambar jelas pada wajah masing-masing.
Saling menatap meneguhkan satu sama lain. Serempak mereka mengangguk kompak seraya beringsut memasuki gedung tersebut dibantu oleh penerangan cahaya yang mereka bawa.
Tap! Tap! Tap!
Derap langkah kaki mereka terdengar menggema di dalam kesunyian. Setiap pasang mata menatap ruangan usang dipenuhi sarang laba-laba dengan penerangan begitu sederhana. Meskipun tidak terlalu jelas menangkap gambaran di dalam ruangan tua, mereka tetap berjaga-jaga serya merapah mengamati apa yang ditangkap oleh kedua netra.
Semakin dalam, semakin sunyi dan gelap. Sinar rembulan tak dapat menerobos masuk ke dalam terhalang oleh rerumputan yang mulai mengerubungi lubang kaca pada bangunan.
Tepat di lantai paling atas, atensi mereka teralihkan pada secarik kertas yang tertempel di dinding usang dengan warna memudar.
"BERKUMPULAH DI ATAS ROFFTOP!" isi dari tulisan itu membuat mereka menyeretkan tungkainya menuju ke sana.
Semilir angin menerpa mereka di tengah gelapnya malam di temani gemerlap cahaya lintang dan rembulan.
Mereka dibuat terheran-heran tatkala seseorang yang akan ditemuinya tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hanya kesunyian menyambut kedatangan mereka ditemani dinginya angin malam yang terus mengoyak tulang rusuk mereka.
"Agni!" Tania berteriak lantang memanggil gadis itu yang tak kunjung datang. Tania tidak mendapatkan tanda-tanda kehadirannya hanya suara burung hantu terdengar merdu menyahuti panggilannya.
"Agni, keluar!" sambung Cilla dengan nada suara begitu tinggi berharap agar gadis itu segera menampakkan dirinya.
Namun, apa yang ditunggu tak kunjung ada membuat mereka kesal merasa tengah dipermainkan. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat ini.
Akan tetapi, ketika tungkai mereka tengah beringsut, tiba-tiba embusan angin menerpa begitu kencang menerbangkan dedaunan yang berserakan di sekitar rofftop. Samar-samar terdengar suara tawa seseorang semakin lama kian nyaring bahkan nyaris memekkan pendengaran. Dengan sigap mereka menghentikan langkahnya ketika suara itu tertangkap jelas tepat berada di belakangnya.
Dengan kompak mereka membalikkan badannya mencari sumber suara.
Alangkah terkejutnya ketika mereka mendapati sosok Agni tengah berdiri dengan senyuman merekah di bibir manisnya. Dia terlihat begitu cantik dengan dress berlengan pendek berwarna biru muda membalut tubuh rampingnya.
"A-agni, ka-kapan kamu ke sini?" tanya Raihan terbata. Dia merasa tidak percaya akan kehadiran Agni tanpa sepengetahuan mereka.
"Barusan," balas Agni suaranya begitu lembut selembut sutra. Membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi terlena. Bahkan Raihan terpaku dengan sorot mata tertuju pada wajah ayunya.
Entah apa yang membuat mereka diam membisu seakan-akan hilang kesadarannya. Padahal Agni hanya menarik bibir cerinya ke arah berlawanan hingga menampilkan senyuman menawan.
"Kalian berdirilah di depan tiang kayu yang sudah tersedia di sana!" titah Agni, suaranya teramat syahdu bak semilir angin yang membelai lembut tubuh mereka.
Tanpa ada bantahan mereka menurut begitu saja. Mereka berdiri di tiap-tiap tiang yang sudah menyambut kedatangan mereka. Tubuh mereka bagai terikat rantai, meskipun pada kenyataannya tidak ada apa pun di sana selain tiang kayu yang berdiri kokoh.
Tubuh mereka terkunci, tidak ada yang mampu melakukan pergerakan selain berteriak marah, memaki, dan menghentakkan kaki. Bola mata mereka terlonjak kaget saat mendapati yang lainnya tengah berdiri rapi. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan gadis itu kepada mereka, yang jelas semuanya menatap marah meminta penjelasan.
"Lo apa-apan Agni?" tanya Caesar panik. Jujur dia tidak menyadari kenapa dirinya tiba-tiba kaku seperti ini.
Lagi-lagi Agni hanya memarkan deretan giginya yang putih bersih.
"Lo apain kita, hah?" Tania melempar tatapan pembunuhan. Dia kesal, sekaligus takut yang melanda di waktu bersamaan. Takut karena tubuhnya tidak bisa bergerak seperti ada sesuatu yang melilitnya.
"Gak lucu tahu, lepas Agni!" imbuh Cilla dengan kilatan marah membakar wajah cantiknya.
Agni melangkah maju ke arah Cilla dengan tatapan penuh arti berbalut luka.
"Tenanglah, katanya mau tahu siapa aku," balas Agni dengan senyuman iblis mengembang membuat mereka bergidik ketakutan.
Dengan rasa takut, akhirnya mereka menurut demi mencari tahu siapa Agni sebenarnya.
Agni menatap satu persatu, kali ini tatapannya begitu serius. Dia menghampiri mereka dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Mereka menelan salivanya dengan susah payah merasa aura kebencian menguar pada diri Agni.
"Semuanya siap?" tanya Agni meyakinkan apakah mereka benar-benar siap mendengarkan semua kisah dirinya. "Karena tidak ada satu pun yang menjawab, berarti kalian sudah siap mendengarkan semuanya," tutur Agni.
Dia lekas menceritakan semua kisah yang membuatnya seperti ini. Kisah itu bermula dari kisah hidupnya. Bola mata kecokelatannya menerawang mengingat masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gedung Kematian (END)
HorrorKembalinya hanya untuk meminta keadilan. Menuntut dan membalaskan semua rasa sakit, sebab setiap perbuatan harus dibalas dengan setimpal. Seperti rasa sakit harus dibayar dengan rasa sakit, penderitaan dengan penderitaan, kehancuran dengan kehancura...