30. Mengingat Masa Lalu

163 12 5
                                    

"Agni, kenapa pulang sore, hah?"

"Bukannya kerja malah keluyuran!"

"Pulang sekolah itu langsung pulang!"

"Dasar, anak gak tahu diuntung membebankan saja!"

Hardikan, cacian, makian, kemarahan merupakan makanan sehari-hari. Tidak ada senyum hangat, sapaan lemah lembut, motivasi yang terucap dari bibir mungilnya.

Terkadang dia merasa lelah dengan hidup yang tidak pernah memihak. Tidak di rumah, di sekolah semuanya sama saja. Bertindak seenaknya tanpa memperdulikan perasaan orang lain.

Sakit, andai mereka tahu. Lelah, dengan hidup penuh permainan. Jika dia kalah, akan dituntut untuk tetap menang dalam permainannya. Andai pun menang dia harus melanjutkan level selanjutnya.

Capek, semuanya terlihat monoton. Tidak ada perubahan sama sekali. Hari lalu, kemarin, sekarang, esok, dan lusa sama saja tidak ada yang berbeda. Terkadang ingin rasanya pergi begitu saja meninggalkan dunia. Atau singgah ke planet lain guna menjauh dari orang-orang yang bengis dan berhati iblis.

Agni tidak tahu apa penyebab mereka begitu jijik melihatnya. Di mata mereka dia bagaikan kuman, atau sekelompok nyamuk Aedes aegypti yang dihindari oleh banyak orang karena menyebabkan penyakit demam berdarah.

"Kamu harus kuat!" Kata itu menjadi penyemangat agar dia tetap bertahan hidup di tengah-tengah kekejian manusia.

Meski setiap harinya luka lebam selalu memenuhi sekujur tubuh. Agni tetap berusaha tegar menutupi semua kelemahan serta memancarkan senyuman demi menutupi penderitaan dan rasa sakit yang menjalar.

Plak!

Wajah Agni menoleh ke samping kiri meninggalkan jejak merah di pipi. Rasa panas dan sakit menjalar secara bersamaan. Ia menatap kecewa kepada sosok wanita yang telah melahirkannya.

"Kemana saja jam segini baru pulang, hah?!" Warni murka melihat anak gadisnya baru menampakkan diri pada pukul lima sore. Tidak segan-segan ia ikut serta menyiksa dan memberikan luka, meskipun ia tahu bahwa anak gadisnya pulang tidak dengan kondisi baik-baik saja.

Bola mata Agni berkaca-kaca hatinya terluka, bahkan dadanya teramat sesak. "Agni dibuli lagi, Bu," ucapnya sedikit tertahan akibat rasa sesak yang menjalar.

Tangan yang seharusnya digunakan untuk membelai dengan penuh cinta dan kasih sayang, ia gunakan untuk mencengkeram dagu anak gadisnya. "Pantas mereka buli kamu, karena kamu itu pembawa sial." Warni melepaskan cengkeramannya membuat wajah lelah itu tertunduk.

Pupus sudah semua pertahanannya, ia sudah tidak bisa menyembunyikan lagi semua rasa kecewa dan menahan air mata agar tidak tumpah di hadapan orang yang telah merawatnya meskipun tanpa kasih sayang. Kasih sayang itu hilang semenjak Ayah Agni pergi ke sisi Tuhan.

"Kenapa, Bu?" Agni berkata lirih, pundaknya naik turun.

Warni menjambak rambut Agni membuat wajahnya mendongak menatap ke arahnya. "Emang benar kan kamu itu pembawa sial? Buktinya Bapak mati gara-gara kamu, Agni!" Warni kembali melepaskan jambakannya dengan kasar.

Agni menggeleng. Dia bukan pembunuh. Ayah yang suka rela mengorbankan dirinya untuk Agni dengan cara mendonorkan ginjalnya kepada Agni.

"Agni bukan pembunuh!" lirihnya. Dia terus menggelengkan kepala dan menjambak rambutnya frustasi.

Bukannya merasa kasihan, ia malah tersenyum sinis. "Kalau bukan pembunuh terus apa?"

Agni mundur perlahan hingga akhirnya tubuh mungil itu membentur tembok.

"Pembunuh tetaplah pembunuh!" ucapannya, lalu beranjak pergi meninggalkan Agni seorang diri.

Tubuh penuh luka itu ambruk di atas lantai yang dingin. Pertahanannya hancur seketika. Rumahnya yang ia jaga, rumahnya yang Ayahnya bangun telah roboh tanpa diminta. Tak ada lagi tempat untuk Agni pulang, tempat untuk Agni berteduh.

Gedung Kematian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang