13. Tertawa Bersama

258 10 38
                                    

Kelima anak Adam itu terlihat bergeming. Ada kerutan di dahi masing-masing, pertanda bahwa mereka tengah berpikir.

Sejenak, mereka saling melempar pandang merasa ada keganjalan setelah mendengarkan apa yang diceritakan, termasuk Tania. Gadis itu merasa pening ketika ingin mengorek semua kejadian yang mereka alami perihal boneka manusia itu.

"Gue heran sama Lo, Ta. Bisa-bisanya dalam keadaan seperti itu Lo mengumpat." Cilla buka suara. Dia tertawa kala mengingat cerita Tania yang mengumpati boneka manusia.

Gelak tawa menghiasi mereka. Merasa lucu dengan tingkah Tania. Orang lain terlihat gemetar ketakutan seraya berlari kocar-kacir, tapi gadis ini mengumpati boneka itu.

Melihat mereka tengah menertawakannya, Tania mendengus sebal. Bagaimana ia tidak mengumpat saat boneka  sialan itu menerornya dengan darah lalu menarik kakinya hingga jatuh ke lantai, sungguh tidak sopan.

"Tapi gue salut sama Lo, Ta. Dari pada sama Raihan dia lari kocar-kacir ketakutan." Caesar menimpali bahkan kali ini dia tertawa  terpingkal-pingkal tatkala mengingat tingkah Raihan saat melihat setan.

"Hahahaha." Mereka tertawa bersama membayangkan betapa lucunya mimik wajah Raihan ketika sedang ketakutan.

Raihan memutar matanya kesal. "Lo kaya gak sadar diri aja, Caesar."

"Masih mending gue, dari pada Lo. Udah lari kocar-kacir kesetanan sampai pintu kamar aja rusak. Gue heran itu pintu di apain sih sampai rusak begitu?" sambung Raihan.

"Wakakakak." Semua tertawa terbahak-bahak. Ingin rasanya mereka menyaksikan Caesar yang ketakutan. Membayangkan dari ceritanya saja sudah membuat sudut mata mereka berair.

Apalagi Tania. Gadis itu terus memegangi perutnya akibat lelah menertawakan Caesar.

"Sialan, Lo pada!" Caesar mengumpat. Namun, masih mampu didengar oleh keempatnya.

Tidak disangka teror menimpa mereka bisa menjadi candaan  membuat mereka bahagia. Rasa takut dan gelisah yang menguasai diri masing-masing perlahan surut begitu saja. Mengingat kejadian dan pengalaman mereka yang berbeda membuat suasana takut kian ceria. Meskipun malam itu mereka dibuat takut luar biasa, tapi saat ini mampu terobati dengan canda tawa.

"Aku heran deh." Jesica berhenti tertawa. Dia terlihat berpikir serius.

"Heran kenapa?" tanya Cilla setelah tawanya mereda.

"Kenapa boneka manusia itu meneror kita di waktu yang sama?"

Mereka saling melempar pandang setelah mendengar pertanyaan Jesica.

"Kalian merasa aneh gak sih?" Jesica kembali melontarkan pertanyaannya.

Terlihat kerutan di dahi masing-masing, mereka kembali berpikir untuk kesekian kalinya. Sialan, boneka itu berhasil membuat mereka pusing.

"Apa teror itu ada sangkut pautnya dengan Agni?"

"Cukup!" Tania menutup telinganya dengan kedua tangannya. Dia mulai jengah tatkala Jesica terus melempar pertanyaan.

"Udah, ya, bertanyanya!" Kepala Tania sedikit memiring ke arah Jesica.

Jesica hanya mengangkat alis bingung meminta penjelasan.

Semua  menggelengkan kepala tidak habis pikir. Jesica sungguh tidak peka. Mereka tengah kelelahan akibat terus berpikir, tapi gadis itu terus saja bertanya tiada habisnya.

Mereka bukan tidak penasaran. Hanya saja kepala mereka nyaris meledak akibat kebanyakan berpikir. Baru saja mereka tertawa bahagia, eh Jesica malah merusak suasana.

"Udah, ya, Jes, jangan dulu bertanya! Kita semua lagi pusing mikirin hal-hal diluar nalar!" Cilla menjelaskan kepada Jesica mengenai alasan Tania yang menyuruh Jesica untuk berhenti bertanya.

Mereka semua mengangguk mengiyakan. Sudah cukup dengan peristiwa itu jangan lagi banyak menanyai hal-hal yang tidak mau mereka jawab satu-persatu.

Jesica mengangguk faham. Dia hanya bisa diam tanpa kembali bersuara.

Hening, hanya ada kebisingan dari siswa-siswi lain.

Sambil menunggu lonceng masuk berdering, mereka hanyut oleh pikiran masing-masing. Mengingat hal-hal mistis serta berusaha untuk memecahkan sedikit demi sedikit semoga saja ada titik terang mengenai persoalan.

Nyaris setiap hari. Hidup mereka bagaikan di tengah samudra. Terombang-ambing oleh ombak lautan. Terhempas ke sana-kemari oleh arus besar.

Peristiwa di luar nalar membuat hidup mereka semakin tidak aman. Pergi ke sana teror tengah mengintai, kembali ke sini kematian seakan-akan berjarak satu jengkal. Intinya, di manapun mereka berada malapetaka akan hadir dengan sendirinya.

Semakin lama semakin terbawa suasana. Ditambah dersik angin mengusap lembut kulit mereka. Seakan-akan tidak peduli dengan yang lainnya. Bahkan, seorang gadis tengah berdiri membawa sebuah nampan yang terus menyapa mereka seperti 'tak terlihat olehnya.

"Permisi, boleh gabung?" tanya gadis itu untuk kesekian kalinya. Nada suaranya sedikit meninggi akibat kesal karena tidak ada yang mau menyapanya kembali.

Saking kagetnya akibat melamun, Raihan sedikit tersentak. Dia hanya tersenyum simpul seraya mempersilahkan gadis itu untuk duduk.

"Silahkan duduk, Agni!"

Gadis itu mengangguk. Dia merasa tidak enak jika harus menyantap makanannya seorang diri, tapi harus bagaimana lagi perutnya terasa keroncongan bahkan para cacing-cacing tengah melaksanakan aksi demonstrasi.

"Kalian mau?" tawar Agni seraya menatap satu-persatu.

Samar-samar keempatnya mendengar suara yang begitu familiar. Dengan kompak mereka melirik tidak suka saat sosok Agni dengan santainya menyantap semangkok mie ayam.

"Gue kira hantu malam itu. Eh, ternyata Lo," sindir Cilla tidak suka.

Agni hanya menatap dengan senyuman begitu tipis.

(Anggap saja itu mie ayam, ya, Guys 😔)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Anggap saja itu mie ayam, ya, Guys 😔)

"Ke kelas yu, guys!" ajak Caesar seraya beranjak dari tempat duduknya

Agni melirik sejenak ke arah Caesar. Rupanya laki-laki berparas tampan itu merasa tidak suka kepada dirinya.

Tidak lama perginya Caesar kini disusul oleh Cilla, Tania, dan Jesica. Mereka berlalu tanpa mau berseru atau sekadar basa-basi menyapa Agni. Agni bagaikan angin lalu yang tidak perlu untuk diajak pergi.

Dalam diam Agni menatap kesal. Perlahan bibirnya menyunging memancarkan senyuman mematikan. Namun, senyuman itu tidak terlalu lebar sehingga tidak ada satu pun orang yang menyadarinya termasuk Raihan.

Kini tersisa Raihan dan Agni. Laki-laki ini merasa tidak enak hati jika harus membiarkan Agni sendiri. Dengan terpaksa dia menemaninya meskipun tidak ada yang mau untuk saling membuka suara.

Gedung Kematian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang