22. Luapan Agni

192 12 7
                                    

Mentari mulai naik kepermukaan memancarkan cahayanya yang menusuk ke dalam gubuk tua. Sang burung beterbangan mengumandangkan irama seraya terbang ke sana kemari menikmati kebebasan.

Anak Adam tengah terusik tatkala cahaya mentari menembus melalui lubang udara. Bola mata mereka mengerjap secara perlahan mengedarkan kepenjuru ruangan seraya mengumpulkan kesadaran.

Setelah nyawa terkumpul sempurna, mereka bergegas untuk bangkit, saling melirik satu sama lain memastikan tidak ada satu pun luka yang menggores pada tubuh masing-masing.

Masih hanyut dalam pikiran masing-masing. Saling diam dengan wajah sayu. Mata panda tergambar jelas di wajah mereka menyiratkan bahwa semalam tidurnya tidak terjaga, maklum kejadian semalam membuat jantungan bahkan diluar perkiraan, untung ada pertolongan jika tidak, mereka tidak akan bisa menatap dunia dan menikmati masa muda.

Tidak mau berlama-lama di tempat aneh dan menyeramkan ini, tanpa cuci muka terlebih dahulu sebab mengandalkan air mineral kemasan di dalam mobil yang akan mereka gunakan untuk membasahi wajahnya.

Penuh cekatan mereka bergegas pergi seraya menenteng tas masing-masing. Tungkai mereka lantas menjejakkan jalan setapak di penuhi dengan rumput setinggi mata kaki.

Pagi menjelang siang laksana di pagi buta. Semakin dalam memasuki wilayah hutan, sinar mentari tak kunjung menembus permukaan.

Hanya sedikit cahaya samar-samar, mereka mampu melihat jalanan sempit terhalang oleh semak belukar tinggi dan terpaksa mereka harus melewati jalanan seperti ini.


"Gue mau minta maaf sama kalian," ucap Tania memecah keheningan.

Mereka semua terlihat diam tidak ada yang mau menanggapi.

"Gue juga," sahut Caesar menimpali. Dia teringat betapa kejamnya ketika dirinya memaksa Raihan, Cilla, dan Jesica agar ikut kemari. Padahal tempat ini bukanlah tempat aman melainkan tempat untuk mencari kematian.

Cilla menghela nafas gusar. "Yang sudah terjadi sepertinya tidak perlu diungkit lagi deh," balas Cilla. Rupanya dia sangat malas bila membahas peristiwa semalam.

Jesica mengangguk mengiyakan. "Nah, iya. Buat apa di bahas juga, toh, gak akan bisa balik lagi, kok."

Tania dan Caesar hanya bisa diam. Mereka berdua merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Padahal niat mereka baik, hanya ingin meminta pertolongan agar teror itu tidak menimpa kembali. Namun, kejadian malam tadi bagaikan kejutan yang mampu membuat siapa saja terkejut luar biasa.

Sepanjang jalan hanya berbalutkan keheningan. Tidak ada perbincangan diantara kelimanya hanya suara kicauan burung-burung saling bersahutan menemani langkah mereka. Begitu pula dengan Raihan, laki-laki itu memasang wajah datar. Dia tampak kesal kepada mereka yang telah menuduh Agni yang tidak-tidak. Termasuk Cilla, Tania, dan Caesar, Raihan masih enggan untuk bertanya atau menyapa mereka. Rencananya, sepulang dari hutan ini, ia akan berkunjung ke rumah Agni untuk meminta maaf kepadanya.

°°°

Rumah minimalis itu tampak sama saat ia dan ke empat temannya berkunjung tiga minggu lalu. Halaman yang asri membuat mata termanjakan akan keindahan. Raihan berjalan ke arah pintu lalu mengetuknya. "Permisi, assalamu'alaikum," ucap Raihan.

Tidak menunggu lama, akhirnya pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita berkepala empat. Wanita itu tersenyum ramah setelah mengetahui siapa tamunya. "Eh, nak Raihan, mari masuk!" ajak wanita itu.

Raihan mengangguk. "Agninya ada, tante?" tanya Raihan seraya berjalan mengekori Mama Agni.

"Ada. Sebentar, ya, tante panggilkan dulu," balasnya setelah menyuruhnya Raihan duduk di kursi ruang tamu.

Gedung Kematian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang