Dua tahun kemudian.Seorang gadis cantik berambut panjang dengan pakaian mewah membalut tubuh rampingnya. Dia begitu cantik dengan polesan makeup natural di wajahnya, tidak lupa sepatu sneaker membaluti kedua telapak kakinya.
Dia mengunjungi sebuah rumah di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Sudah dua tahun lamanya dia tidak kembali dan menghilang begitu saja. Hanya menyisakan kabar buruk bahwa dia telah pergi sebagai korban pembunuhan di gedung tua.
Mungkin akan ada banyak orang yang tidak percaya akan kehadirannya. Atau menganggap bahwa berita itu merupakan hoax. Atau juga menganggap bahwa gadis ini mengada-ada sebagai Agni Pratistha.
Tok! Tok! Tok!
Berkali-kali dia mengetuk pintu hingga akhirnya pintu kembar bercat biru muda itu terbuka. Terlihat seorang wanita berusia senja berdiri di bibir pintu dengan raut wajah tidak percaya. Dia adalah Warni, Kedua bola matanya membelalak sempurna. Dia tidak menyangka terhadap sosok gadis yang berdiri begitu manis dihadapannya.
Gadis itu tersenyum memperlihatkan deretan giginya. Dia menyapa wanita senja itu dengan mimik wajah cerah. "Apa kabar, Ma?"
Warni terlihat bergeming bahkan bola matanya mengerjap berkali-kali memastikan bahwa gadis dihadapannya adalah anaknya yang dikabarkan telah meninggal dunia.
"Bu-bu-kannya ka-kamu telah me--" Belum selesai warni bertanya, cepat-cepat dia memotongnya.
"Mama gak mau ngajak aku masuk? Aku capek nih," gadis itu mengalihkan pembicaraannya. Dia merengek layaknya anak kecil dan bertingkah jauh berbeda dari sosoknya yang dulu.
Dengan pasrah warni mengangguk seraya mengajak gadis itu masuk.
Dia memasuki rumah itu. Tatapannya mengedar kepenjuru ruangan. Ternyata tetap sama tidak ada yang berbeda, hanya terlihat banyak debu yang hinggap serta sarang laba-laba di setiap sudut langit-langit. Rupanya rumah ini tidak terawat, tidak seperti dahulu meskipun tampak sederhana, tapi begitu bersih tanpa noda.
Dia duduk di atas kursi usang yang warnanya telah memudar. Dia menyandarkan punggungnya dengan senyuman maut mengembang di bibir manisnya. Dia sudah tidak sabar dengan rencana yang telah ia susun selama dua tahun lamanya.
Warni terlihat berjalan ke arahnya seraya membawa nampan berisi teh hangat dengan roti kering. gadis itu tersenyum senang ketika makanan kesukaannya tengah dihidangkan.
"Rupanya Mama tidak lupa dengan makanan kesukaanku," ucap gadis itu.
Warni hanya diam. Dia tidak berniat menanggapi celotehan gadis yang mirip dengan anaknya.
Selang beberapa menit, gadis itu tengah menikmati roti kering yang berada di atas meja. Sedangkan wanita itu mengamati lamat-lamat gadis dihadapannya.
Rasa penasaran yang semakin membuncah membuat dia tidak sabar untuk segera bertanya.
"Ada perlu apa kamu ke sini? Dan kenapa kamu panggil saya Mama? Saya bukan Mama kamu dan anak saya sudah mati akibat korban pembunuhan." Akhirnya warni mengungkapkan semua rasa penasarannya agar gadis itu mau menjawab kebenarannya.
Dia menghentikan aktivasinya. "Mama lupa, aku ini Agni Pratistha, anak Mama," balasnya dengan mimik wajah dibuat murung.
Warni menggeleng tidak percaya. "Gak mungkin!"
"Apanya yang gak mungkin, Ma? Jelas-jelas aku ini Agni! Mama lupa dengan ciri khas anak Mama sendiri?" Agni mengerucutkan bibirnya. Dia pura-pura kesal kepada sang Mama.
"Tapi bukannya kamu itu--" dia tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Kamu apa, Ma?" Agni menyeringai. Dia tahu apa yang akan Mamanya ucapkan.
"Emm, aku tahu. Aku cantik, ya, Ma?" Agni mengangkat sebelah alisnya menggoda sang Mama.
Dia menarik bibirnya ke arah berlawanan seraya memajukan badannya agar berdekatan dengan sang Mama. "Jangan takut, Ma. Aku kembali hanya untuk meminta keadilan dengan cara balas dendam."
Deg!
Tubuh Warni--ibu Agni menegang. Bola matanya membola, dia berusaha mencerna apa yang Agni katakan. "Ma-ma-maksud kamu?"
Agni menanggapinya dengan senyuman yang tidak biasanya. Perlahan dia menarik nafas dalam-dalam untuk menceritakan maksud dan tujuannya secara perlahan.
"Aku kembali ke sini untuk menuntut orang-orang yang telah menghancurkan hidupku dengan cara BALAS DENDAM." Dia sengaja menekankan kata 'balas dendam'.
"Jika Mama penasaran kenapa aku bisa kembali padahal aku sudah mati itu karena bantuan Ifrit," bisik Agni tepat di daun telinga Warni. Membuat tubuh wanita senja itu melemas seakan kehilangan tenaganya.
Agni berlalu meninggalkan Warni yang mematung. Dia benar-benar dibuat syok dengan apa yang didengarnya. Anaknya kembali hanya untuk menghancurkan hidup orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. Itu tandanya dia bukanlah Agni pendiam. Melainkan Agni pedendam yang telah bersengkokol dengan setan.
Tiba-tiba Warni berteriak untuk menghentikan tindakan Anaknya. "Jangan lakukan itu, Nak. Mama mohon!"
Langkah Agni terhenti tepat di depan pintu kamarnya. "Keputusanku tidak bisa diganggu gugat! Jika Mama berniat untuk menghentikannya maka hidup Mama akan bernasib sama seperti mereka!" Agni menoleh menatap ke arah sang Mama. "Semuanya sudah terlambat, Ma, Agni sudah melakukan perjanjian dengan Ifrit," ungkapnya lalu beranjak pergi meninggalkan Warni yang terdiam tanpa kata-kata. Warni menatap kecewa pada dirinya dengan air mata meluruh pilu. Dia sadar, dulu dia pun sempat bertindak kasar kepadanya, tapi bukan berarti kepergian Agni dia merasa senang melainkan dia ikut terpukul saat anak gadis semata wayangnya telah pergi meninggalkannya. Dan kini disaat ia kembali, dia hanya ingin membalaskan dendamnya atas rasa sakit yang ia pikul seorang diri. Jika ini sudah terjadi Warni tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya pasrah akan tindakan yang dipilih oleh anak gadisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gedung Kematian (END)
HorrorKembalinya hanya untuk meminta keadilan. Menuntut dan membalaskan semua rasa sakit, sebab setiap perbuatan harus dibalas dengan setimpal. Seperti rasa sakit harus dibayar dengan rasa sakit, penderitaan dengan penderitaan, kehancuran dengan kehancura...