Pukul 07.00 pagi.
Agni melangkah terseok-seok memasuki pelataran sekolah. Sesekali meringis menahan rasa sakit di sekujur tubuh bekas pukulan kemarin.
Kedua netranya merapah menelusuri setiap lingkungan sekolah.
"Huh," helaan nafas lelah terdengar begitu berat. Rasanya tidak ada sedikit gairah ketika kakinya menepi di sebuah ruangan kelas X IPS 3. Teringat akan hardikan mereka yang selalu saja berputar di kepala laksana kaset rusak. Membuat dirinya begitu terganggu dengan apa yang telah mereka lakukan.
Agni berjalan dengan kepala menunduk menyembunyikan raut wajahnya. Tanpa peduli dengan tatapan sekitar dan tidak terlalu memperhatikan di bawah sana.
Pelan kakinya diseret menuju bangku yang terasingkan. Namun, entah apa yang membuat lantai marmer ini begitu licin sehingga tubuhnya ambruk begitu saja di atas lantai yang dingin.
Gelak tawa menggema disertai olok-olok yang mengantar luka. Agni hanya bisa diam menahan malu seraya tertunduk lesu menyembunyikan air mata yang sebentar lagi tumpah dengan sendirinya.
Hening seketika. Entah apa yang membuat mereka berhenti menertawakannya. Hingga akhirnya sepasang tangan kekar meraih pergelangan tangan Agni.
Dia sedikit mendongak menatap kearahnya, ternyata laki-laki tampan berhati malaikat tengah tersenyum hangat. Dia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Agni. Tangan besarnya terulur mengusap kristal bening yang telah menganak sungai di kedua pipi.
"Kamu, gak papa?" ucapnya penuh kehangatan.
Agni hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Dia merangkulnya, memapah dan membawa pergi dari ruangan kutukan ini. Tanpa Agni sadari tiga wanita cantik tengah menatap sinis ke arah mereka berdua.
°°°
Suasana kantin terlihat begitu ramai, saling berdesakan guna memesan makanan.
Agni duduk di kursi paling ujung seraya mengamati keadaan sekitar. Sambil menunggu kedatangan Raihan, dia hanya diam dalam kebisingan. Membiarkan semua kejadian dan permasalahan terus berputar. Terkadang sesekali dirinya menangis mengingat semua luka yang teramat mendalam.
Dalam keramaian hatinya berdenyut ngilu. Dalam kebisingan pikirannya melayang jauh menuju masa lalu. Ingat itu, kembali mengantar rindu meninggalkan jejak yang tak berujung sembuh. Air matanya kembali lolos, kala kilasan itu kembali tergambar di dalam kepala. Dadanya kembali sesak membuat dirinya tertunduk tanpa menyadari bahwa Pricilla beserta ketiga sahabatnya tengah berjalan menghampiri dirinya.
"Hai, cupu!" Suara itu begitu familiar membuat Agni mendongak menatap kearahnya.
Rupanya geng buli tengah berdiri manis dengan sorot mata penuh kebencian melingkupi wajah cantik mereka. Agni hanya mampu memancarkan senyum hangat meskipun penuh keterpaksaan.
"Jangan lupa nanti malam hadir ke pesta ulang tahun Gue!" Pricilla melemparkan sebuah surat undangan tepat kewajahnya, membuat surat itu tergeletak di atas lantai.
Agni hanya bisa menutup mata, seraya diam tanpa seribu bahasa.
Tania tersenyum jahat. Ia melangkah maju lalu menundukkan badannya agar bersejajar dengan wajah Agni. "Dadan yang cantik, jangan terlihat cupu! Sebab, gue gak mau Lo bikin malu di tempat perayaan ulang tahun sahabat gue!" peringatnya penuh dengan kalimat sindiran yang berhasil membuat goresan baru di hatinya.
Agni memungut undangan itu bersamaan dengan mereka yang pergi begitu saja. Tidak lama dari itu Raihan datang seraya membawa nampan yang berisi dua mangkuk siomay beserta es teh manis dengan cemilan lainnya.
Agni menyambut kedatangan laki-laki yang dia kagumi sejak dulu dengan senyuman. Ia buru-buru mengusap jejak air matanya agar laki-laki itu tidak menyadari bahwa ia kembali menangis untuk kesekian kalinya. Agni tidak mau terlihat cengeng. Ia harus tetap ceria apa pun itu kondisinya. Raihan tersenyum membalas senyuman manis Agni, tangannya mengusap lembut pucuk kepala Agni.
"Makan dulu!" Dia menyodorkan satu mangkuk siomay beserta minumannya. Dengan senang hati Agni menerima semua perlakuan manisnya.
Dalam diam mereka menikmati makanan itu. Hanya terdengar denting sendok yang beradu dengan mangkok di tengah keramaian. Lagi-lagi ketiga gadis itu menatap iri dari kejauhan. Bola matanya menatap tajam penuh kebencian.
Selesai makan Agni lekas memberikan kartu undangan itu kepada Raihan, guna mengajak ia untuk pergi ke sana. "Kamu mau ikut?"
Raihan mengambilnya lalu membaca isi dari undangan itu.
"Kalau kamu mau hadir, ayok kita ke sana," ajak Raihan dengan senyuman manis mengembang di bibir tebal merah alami.
Agni mengangguk senang mendapati jawaban Raihan.
"Nanti malam aku jemput," ucap Raihan.
Lagi-lagi Agni mengangguk hingga akhirnya mereka pun hanyut dengan obrolan ringan yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
"Lihat!" Wanita itu menunjuk kesal ke arah Agni.
Temannya yang berambut pendek berusaha menenangkan sahabatnya. "Lo harus sabar dulu!"
Dia berdecak malas. "Gue gak bisa sabar, gak bisa tenang!" ucapnya dengan tangan terkepal merasa cemburu melihat pemandangan yang membuat dadanya memanas.
"Cilla, setelah kita berhasil menyingkirkan dia, Lo bisa sepuasnya dekat dengan Raihan," ucap Gadis berkucir kuda. Ia tersenyum meyakinkan sahabatnya.
Apalah daya selain mengamati dari kejauhan meskipun tangannya mulai gatal untuk menjabak, menyiksa, memukul, dan menampar gadis itu. Dadanya naik turun menahan amarah, mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan sumpah serapah. "Lo sekarang bisa bersenang-senang, sialan, tapi tidak dengan hari esok," ancamnya seraya berlalu diikuti oleh kedua sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gedung Kematian (END)
HorrorKembalinya hanya untuk meminta keadilan. Menuntut dan membalaskan semua rasa sakit, sebab setiap perbuatan harus dibalas dengan setimpal. Seperti rasa sakit harus dibayar dengan rasa sakit, penderitaan dengan penderitaan, kehancuran dengan kehancura...