Tulisan Cinta (AkaHina)

616 98 73
                                    

'Cerita penulisnya tidak pernah membosankan, selalu berhasil membuat hatiku teriris sakit. Semua cerita yang diterbitkan selalu sad ending dan jauh dari kisah cinta. Aku ingin tau bagaimana tulisan penulis jika menulis tentang cinta.'

'KEREN! AKU SAMPAI MENGHABISKAN DUA KOTA TISU KARENA MENANGIS. PENULIS, AYO PENULIS. DEBUTLAH SEBAGAI PENULIS KISAH CINTA.'

'Cerita penulisnya selalu tentang kesedihan. Aku bukannya mengatakan bahwa cerita penulis jelek, tapi menulis kisah-kisah menyedihkan ini bukannya sudah terlalu banyak? Aku pikir penulis perlu mempertimbangkan untuk membuat kisah yang bahagia.'

'Penulis! jangan dengarkan mereka yang memaksamu, lakukan apa yang kau suka.'

'Ceritanya selalu menyedihkan karena kisah hidupnya menyedihkan, hahaha.'

Akaashi melempar ponselnya ke samping, merasa kesal dengan berbagai komentar yang ia baca. Akaashi bersandar pada sofa yang didudukinya, kepalanya menengadah menatap langit-langit rumahnya.

Pandangannya tampak kosong. Ia sedang memikirkan banyak hal saat ini. Sudah beberapa bulan yang lalu ia menulis di sebuah platform online, karena konsistensinya dalam menulis ia akhirnya dapat terkenal dengan cepat. 6 bulan berlalu ia telah menamatkan 6 novel, semuanya mendapatkan reaksi yang bagus. Hanya saja akhir-akhir ini, ia mulai merasakan yang namanya dituntut.

Biasanya pembaca hanya akan memuji tulisannya tanpa sedikitpun memberi saran ataupun kritik. Dengan pujian yang dilontarkan, Akaashi terus menerus menulis. Sayangnya semua novel yang ia terbitkan selalu bertema sama, kesedihan atas kehilangan. Baik kehilangan teman, kehilangan sahabat, kehilangan orang tua, kehilangan mimpi, dan berbagai jenis kehilangan lainnya selalu tercantum dalam novelnya, dan jangan lupakan sad ending yang menjadi ciri khas dari cerita-ceritanya.

Beberapa pembaca mulai menyarankannya untuk menulis kisah cinta yang bahagia, awalnya Akaashi mengabaikannya namun saran dari pembaca mulai berserakan di kolom komentar. Tidak jarang mereka melayangkan kritikan yang menghina untuknya.

Akaashi memijit kepalanya. Padahal ia menulis tanpa dibayar, padahal mereka hanya membaca apa yang ditulisnya. Mereka hanya membaca lalu menekan dirinya untuk beralih dari keahliannya. Iya, keahliannya.

Ia tidak bisa menulis cerita bahagia. Hidupnya menyedihkan, persis tebakan salah satu komentarnya. Ia tidak dapat merasakan perasaan cinta yang diinginkan pembaca untuk ia tulis. Bagaimana mungkin ia menulis kisah cinta jika ia tidak merasakan itu? Pernah ia mencoba namun tulisannya terasa hampa, tidak bernyawa. Akaashi tidak suka itu.

Menulis cerita menyedihkan lebih mudah baginya yang telah kehilangan semuanya. Hidup seorang diri di tengah kota besar, ia bahkan tidak memiliki teman karena dirinya yang sulit membuka diri. Bagaimana ia bisa menulis kisah cinta di tengah keadaan dirinya yang menyedihkan ini?

Tidakkah pembaca mengetahui ada sebuah kutipan yang berbunyi,

"Syarat menulis itu hanya satu, jatuh cinta atau patah hati."

Ia yang selama ini selalu patah hati, hanya dapat merangkai kata-kata menyedihkan yang dirangkum dalam sebuah cerita. Ia tidak bisa menuruti keinginan para pembacanya, tapi jika Akaashi terus menolak untuk berkembang maka mimpinya untuk dipinang penerbit besar harus sirna. Ia harus mampu menulis apapun, membuatnya menjadi penulis serba bisa yang setiap kalimatnya terasa mempunyai nyawa yang berwarna. Akaashi harus bisa.

Dengan pemikiran barusan, Akaashi berdiri dari duduknya. Mengambil laptop, memasukkannya ke dalam tas, mengambil jaketnya dan keluar dari rumahnya. Akaashi butuh suasana baru.

Kafe baru di pusat kota menjadi pilihannya. Ia memasuki kafe, duduk di meja kosong dekat jendela. Tempat duduknya berada di pojok ruangan, disebelah kanannya kosong, di depannya ada seorang pria dengan surai hitam putih. Merasa bahwa tempat yang dipilihnya tepat untuk menulis, ia membuka tas dan mengeluarkan laptopnya.

Love in Haikyuu!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang