Aku pernah menyerah. Menyerah untuk melakukan apa pun. Menyerah untuk berbicara. Menyerah untuk ceria. Menyerah untuk hidup. Aku sempat ingin mati, bunuh diri di malam dingin dengan melompati jembatan kemudian jatuh ke sungai dalam. Mati karena tenggelam dan meninggalkan dunia yang penuh cerita kelam.
Aku tidak tahu hidup untuk apa. Semuanya membosankan. Semuanya menyakitkan. Hanya kesepian yang terus menggerogoti jiwa yang selalu berteriak untuk mati.
Aku tak punya kemampuan. Aku tak punya keahlian. Aku tak punya pilihan.
Hidup mengikuti alur yang ada dengan proses yang terus berlangsung sama. Dejavu setiap hari benar-benar membuatku mati rasa.
Tidak ada perasaan apa pun kecuali rasa bingung dan bosan. Bingung harus berbuat apa dan bosan terus bergerak sama.
Ada begitu banyak orang memiliki keinginan untuk hidup tapi aku tidak. Aku tak ingin hidup.
Semuanya salahku. Hidup dengan aturan yang dibuat sendiri hingga membatasi diri untuk menikmati kehidupan idaman. Aku terlambat untuk menyadari bahwa apa yang aku jalani itu salah. Kesalahan itu membuatku hidup dalam kesendirian.
Enggan menunjukkan ekspresi, enggan menunjukkan isi hati, enggan membuka diri dan enggan untuk dekati. Dengan hidup penuh kekakuan dan aturan, aku jalani hidup seperti robot tanpa ekspresi yang membuat orang-orang menolak untuk bersilaturahmi.
Orang yang kuno.
Orang yang tidak punya perasaan.
Orang yang tidak tau cara menikmati hidup.
Boneka mati.
Berbagai pendapat orang yang selalu kuingat. Penuh kalimat yang semakin membuatku mati rasa. Bahkan pujian seperti tampan dan atletik tak mampu hadirkan senyum di wajahku.
Aku berandai-andai. Andai aku lebih luwes, andai aku tak mengikuti kata Ibu bahwa manusia adalah makhluk jahat sehingga aku harus berhati-hati pada mereka dan kemudian menerapkan prinsip yang perlahan membuatku sakit jiwa.
Semuanya belum terlambat. Aku ingin berubah. Aku benar-benar ingin berubah. Aku ingin hidup dengan berbagai rasa. Aku ingin hidup dengan melanggar beberapa aturan yang ada dan menikmati masa muda sebagai pria kantoran biasa.
Keinginan yang tak begitu kuat. Nyatanya aku tak sanggup mencobanya. Aku tak punya kemampuan untuk berubah.
Sejujurnya aku takut. Karena takut aku memilih untuk menyerah.
Di tengah malam yang sepi kakiku terus melangkah menuju jembatan yang terkenal sebagai tempat 'akhir'. Tempat di mana orang-orang sepertiku mencoba mengakhiri hidup mereka di sini, di sungai yang katanya penuh arwah pendendam.
Aku berencana untuk langsung melompat ketika sampai di pagar pembatas, namun secarik kertas yang ditempel sembarangan di pagar itu mengalihkan pikiranku. Kertas norak dengan paduan warna yang membuat jiwaku mengerang. Ada perasaan tak tenang ketika aku membiarkannya, jadi aku memutuskan untuk mengambil kertas itu dan siap untuk membuangnya.
Sebelum aku membuang kertas norak itu, aku membaca sedikit tulisan yang tertera.
"Mau mati? setidaknya coba ini sekali!. Akan kutunjukkan kebahagiaan sejati yang sesungguhnya kau cari."
Aku memandang datar kertas itu. Membaliknya dan kemudian menemukan tulisan Magic Shop dengan alamat tertera di bawahnya.
Aku yakin aku tak tertarik tapi entah kenapa tiba-tiba aku sudah duduk di sofa empuk dengan orang aneh di depanku.
Dia katakan berbagai hal namun yang paling aku ingat adalah kalimat "Kau ada di sini karena kau masih berharap untuk hidup, Wakatoshi."
Kalimat itu beri pukulan besar padaku. Aku berharap untuk hidup? Aku? Kenapa? Aku bahkan membuat rencana bunuh diri setelah memikirkan bahwa aku tidak punya kesempatan lagi untuk mengubah hidupku. Hidupku telah hancur dan omong kosong apa yang dikatakan manusia berambut oranye ini di depanku?
![](https://img.wattpad.com/cover/285415292-288-k838419.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Haikyuu!!
Fiksi PenggemarHinata x All Mungkin penulisannya terkesan berantakan dan terlalu kaku, jadi jika kalian punya saran untuk kesempurnaan penulisan dalam ffn ini, silahkan Haikyuu © Haruichi Furudate Genre : Drama, Romance Rate : T semi M Warning : BL, OOC, AU, typo(...