1. Tuyul Kecil

28.6K 1.2K 125
                                    

Di sebuah kota besar, di kediaman yang tak kalah besarnya juga. Malam sudah tiba. Ada seorang pria tampan yang baru saja turun dari mobil mewahnya sambil menggeram dan mengusak rambutnya dengan sangat kasar, seakan jika bisa, jika ia mampu, ia ingin sekali melepas kepalanya untuk sementara.

Meletakkannya entah di mana saja.

Supaya penat dan pusing yang sedang ia rasakan bisa hilang seketika.

Mengetukan sepatu mengkilat yang sudah menyempurnakan tampilan paripurnanya sepanjang hari ini, pria tampan yang sudah melepas dasinya langsung menghela napas dengan panjang sekali.

"Aku lelah."

Bahkan gumamannya saat ini, hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.

"Mau tidur."

Sebuah bisikan, yang jelas sekali merupakan harapan yang ingin segera diwujudkan.

Membuka pintu besar dengan pegangan berwarna emas yang sudah menandakan bahwa pemiliknya bukan orang biasa, pria tampan itu semakin masuk ke dalam rumah besar yang sudah nampak seperti istana. Dengan pilar menjulang di setiap sisinya. Juga jangan lupakan panjangnya tangga melingkar yang harus sabar untuk menaiki dan melewatinya.

Melepas sempurna bagian dasinya, si tampan lekas mendudukan diri tanpa mau repot melepas sepatunya.

"Ma. Aku pulang!"

Bahkan entah itu teriakan, atau sebenarnya sebuah panggilan yang ingin segera mendapatkan jawaban, tapi suara dalam itu terdengar sedikit mengerikan.

Walau tak bertahan lama.

Karena setelahnya, teriakan melengking langsung berhasil untuk mematahkannya. Dengan sangat segera. Dalam hitungan detik yang bahkan mungkin belum sempat untuk mengedipkan mata.

"Kebiasaan! Kalau pulang, itu salam dulu. Bukan teriak-teriak kaya gitu!"

"Katanya tak boleh berteriak. Tapi dia sendiri sudah berseru sekeras itu," sungut si tampan jelas sekali sedang menggerutu.

Si pria rupawan yang sudah mendudukan dirinya lekas menegakkan kepala, dengan dengusan dan helaan napas lelah yang begitu kentara.

"Yang penting kan aku udah ngabarin kalau aku pulang, Ma. Jadi jangan ngomel terus kaya gitu dong. Udah syukur aku pulang. Nggak pergi dan kelayaban."

"Berani kelayaban. Apalagi sampai main macem-macem. Mama pukul kepala kerasmu itu!"

Maka yang lebih muda hanya menurut tanpa membuka suara. Bukan tak mau mengeluarkan sanggahannya. Hanya saja, tenaganya lebih ingin disimpan untuk tidur daripada membalas omelan Kanjeng Ratu yang pasti akan sulit sekali untuk dibantah kemauannya.

"Ya. Terserah Mama."

Menutup kedua matanya. Pria tampan si anak tunggal kaya raya, kembali menyandarkan bahunya. Sebab lelah dan letih jelas masih ia rasa.

"Kalau lagi ngobrol sama Mama, lihat Mama dong. Jangan merem kaya gitu. Nggak sopan."

"Aku capek, Ma. Serius. Kepalaku pusing juga. Jadi kalau masih mau ngomel, besok pagi aja. Oke? Atau kalau Mama bisa sabar, tahan dulu. Sampai besok, atau besoknya lagi. Biar sekarang aku nggak makin pusing kepalanya."

"Kamu berani larang Mama buat marah?"

"Iya. Biar keriput punya Mama nggak makin bertambah jumlahnya."

Memang mulut yang butuh sumpelan.

Karena Danu tak sadar dengan radar bahaya yang telah ia timbulkan.

Sebab selesai si pria lajang berucap seperti itu dengan nada santainya, lemparan bantal sudah langsung melayang dengan begitu jitunya. Dan pelaku utamanya, jelas pawang yang tak bisa dibentak seperti yang lainnya. Karena seorang Danu masih ingat dengan sangat jelas dan tak mungkin lupa, bahwa walau ia bengalnya luar biasa, tapi mati nanti ia ingin tetap tinggal di surga.

Serigala Berhati Domba ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang