18. Odong-Odong

4.6K 412 67
                                    

Seperti perintah telak Nyonya Hesti sebelumnya, setelah makan bersama, kini Danu sudah melangkahkan kedua kakinya dengan begitu malas dalam tarikan tangan kecil Lala. Mengikuti si tuyul kecil yang sudah semangat sekali karena ingin naik odong-odong seperti harapan besar di hari ulang tahunnya.

"Ayo, Om. Cari odong-odong. Yang lagunya banyak. Biar muternya bisa lama-lama."

Maka dengusan sebal dari Danu segera mengudara. Apalagi ketika melihat tempat seperti apa yang sedang dilewati olehnya.

"Kalau lagi pengin bikin aku repot, jangan bawa aku ke tempat becek kaya gini dong." Protes Danu pada Lala. Ketika menundukan kepala, dan melihat tempat seperti apa yang harus Danu datangi dengan perasaan terpaksa.

Pasar malam.

Tempat baru yang menurut Danu penuk sesak dengan lautan manusia.

Sampai Danu jadi berpikir sendiri di dalam hatinya, "Apa istimewanya tempat ini, sampai orang-orang jadi sesenang ini dan bahagia sekali wajahnya. Kenapa?"

Begitu juga dengan Lala. Yang sejak tadi selalu Danu dengar tak henti-hentinya berdecak kagum dengan setiap hal yang kata Lala begitu menakjubkan bagi pandangan mata polos yang Lala punya. Padahal menurut Danu dan semua dengusan sengitnya, tempat ini adalah area yang penuh sekali dengan hal-hal melelahkan yang sangat tak ia suka.

Berdesakan.

Suara bising dan juga terkadang ada jeritan.

Hawa panas karena banyak sekali perkumpulan orang.

Juga hal tak higienis yang sangat tak ingin untuk Danu pegang.

Tapi kabur jelas tak bisa. Karena si tuyul kecil sudah menarik tubuh Danu untuk mengikuti setiap kemauannya. Yang bahkan setiap nada protes dari Danu seperti ingin langsung Lala patahkan dengan semua argumen cerdiknya.

Seperti sekarang.

"Ini nggak becek, Om. Nih. Kita udah jalan di atas karpet. Kaya di film-film kartun yang Lala lihat. Kalau masuk istana, disambutnya pasti pakai karpet merah yang panjang banget."

Maka Danu sungguhan seperti ingin sekali untuk langsung meremat wajah gembil Lala supaya tak berani berujar ngawur lagi seperti itu.

"Karpet apanya. Ini terpal namanya. Dan ini bukan warna merah, tapi biru!"

"Ya sama aja, Om. Ini, biasanya, dipakai buat karpet juga kalau lagi acara di desa."

"Desa mana yang kamu maksud? Nggak usah sok kaya orang tua deh."

Lala makin cengengesan. Dan semakin berani untuk menarik tangan kekar milik Danu untuk masuk ke dalam genggaman. Melewati setiap gang yang penuh sekali dengan berbagai macam jualan, dan tak henti-hentinya berceloteh menyebut setiap hal yang kata Lala sangat menyenangkan.

Tapi perlu ditekankan, bahwa bagi Danu semua ini sungguhan sangat melelahkan. Kegiatan yang penuh sekali dengan paksaan. Seakan Danu sedang terdampar di pulau antah berantah yang tak pernah Danu bayangkan.

"Pokoknya, ayo jalan-jalan. Senang-senang!"

"Senang-senang rambut bondolmu itu. Kamu senang. Tapi aku sengsara di sini." Dengus Danu sengit sekali.

"Coba dulu. Nanti, di sana, Om bisa makan makanan enak. Jajannya juga banyak."

Dengusan sengit dari Danu kembali menunjukan bahwa empunya sudah tahu akal bulus milik Lala.

"Halah. Sok banget nawarin makanan dan jajanan enak. Padahal, aku tahu ya, kalau itu pasti cuma alibimu aja biar minta ditraktir. Iya kan?"

Maka tawa bahagia dari Lala jelas segera mengudara.

Serigala Berhati Domba ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang