Hari Minggu, hari yang cocok untuk menghabiskan waktu bermain game ataupun menonton film seharian. Namun tidak dengan Minggu pagi ini, kedatangan Paman dari Solo itu membuat ketujuh lelaki yang sudah mengatur jadwal untuk bermalas malasan harus terpaksa membatalkan.
Paman ini semalam datang dan berniat untuk menjemput Eyang. Namun seperti biasa jika mereka bertujuh ke Solo ataupun Pamannya yang datang ke Jakarta, pasti pria itu tak akan membiarkan keponakannya berleha leha di depan TV.
"Ayo anak anaknya Heri, susah banget sih disuruh olahraga," dumel Paman berjalan mondar mandir yang sudah siap dengan sepatu ketsnya.
"Jojan udah siap!" pekik Jordan yang berlari keluar dengan semangat.
Paman menepuk bahu Jordan bangga, "Jojan ini memang keponakan kesayangan Paman."
Keenamnya yang sedang sibuk memakai sepatu dengan sesekali deklak dekluk alias masih mengantuk hanya memutar bola matanya malas melihat tingkah Jodan yang sangat bersemangat untuk berolahraga.
"Paman, ini ayam aja belum berkokok masa kita mau jogging sih. Nggak sopan banget masa lebih duluan kita daripada aya--hoam," protes Candra sambil menguap.
"Iya Paman, ini teh niatnya mau jogging apa nyari kodok sih? Masih malem gini," imbuh Haikal tak terima.
"Astaga memangnya kenapa sih? Nggak usah kebanyakan protes ya kalian, menghirup udara pagi tuh justru bagus. Lagian kita jalan dulu sambil nikmati suasana, kalo ntar udah agak siangan baru kita lari," jelas Paman memijat pelipisnya lelah.
"Pagi sih pagi Paman, jam enam gitu baru namanya pagi. Lah ini belum juga jam lima, inimah namanya subuh," balas Rion.
"Ini Jakarta man! Paman yakin subuh subuh gini pasti jalan raya sudah ramai," sahut Paman santai "sudahlah jangan kebanyakan protes, toh tetep saja protes kalian tidak Paman terima. Ini sudah belum pakai sepatunya, masa lama banget."
"Udah!" sahut keenamnya bangkit dengan ogah ogahan.
Mereka berdiri dengan sedikit sempoyongan karena masih mengantuk, bahkan tak terhitung sedari tadi sudah berapa kali menguap. Pasalnya jam belum menunjukkan pukul lima pagi, baru saja mereka selesai ibadah sholat subuh sudah langsung disuruh lari.
"Ya sudah, Jidan sana ambil sepeda dulu," ujar Paman menunjuk garasi dengan dagunya.
Zidan menggelengkan kepalanya, "Jidan mau ikut lari."
"Enggak, lo naik sepeda. Gue yakin ini Paman pasti bakalan lari sampe jauh, lo nggak bakalan kuat Jie," sahut Jordan.
"Iya Jie, kamu nggak boleh terlalu capek. Kalo naik sepeda kan nggak capek capek banget," imbuh Rion menimpali.
Zidan tetap menggelengkan kepalanya, "Jidan mau lari," kekeuhnya.
"Jie, gue tendang juga lo susah banget dibilangin," balas Haikal melotot.
Tara menghembuskan napasnya panjang, "Jidan, dengerin Abang kamu. Kamu nggak boleh kecapean."
"Jidan bisa bang, pasti bisa," kekeuh Zidan berusaha meyakinkan.
"Kapan sih lo nggak keras kepala gini Jie?" tanya Candra pasrah.
"Udah nggak papa Jidan lari biar Bang Satria yang naik sepeda, kalo di tengah jalan Jidan udah ngerasa capek bilang ya," tutur Satria dengan lembut.
Zidan tersenyum dan menganggukkan kepalanya semangat, akhirnya ada juga yang membela dirinya.
Kukuruyuk.
"Tuh ayam berkokok, ayo jalan."
Paman menginstruksikan Jordan untuk berjalan terlebih dahulu, lalu diikuti abang, adik dan juga Paman di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022