Tak terhitung sudah berapa kali Lukas berlari naik turun tangga, mengunjungi kantin, kamar mandi, dan bahkan seluruh tempat yang ada di SMA Persada sudah ia kunjungi hingga rasanya kakinya sudah mau patah tak kuat berjalan lagi.
Daripada kakinya benar benar patah Lukas memutuskan untuk duduk di bangku depan UKS sembari mengatur napasnya yang tersenggal senggal.
"Ini Erin lagi main petak umpet apa gimana sih anjir, dicariin sampe muter muter sekolah nggak ketemu!" gerutunya sebal.
Yap, Lukas yang mengelilingi sekolah itu sedang mencari keberadaan Erin, sudah hampir setengah jam ia berkeliling dan Erin tak kunjung ditemukan.
Pintu UKS dibuka dari dalam menampilkan seorang lelaki berperawakan tinggi dengan seragam sekolah yang terdapat bercak darah di bagian lengan sebelah kanan.
"Mana Erin nya?" tanya Praja.
"Belum ketemu, udah cari sampe keliling sekolah tapi gue nggak liat batang hidungnya dari tadi," jelas Lukas.
Praja memutar bola matanya malas, "Emang dasarnya nggak becus sia sia banget setengah jam nggak ada hasil sama sekali, udah mending gue aja yang nyari, lo kedalam tungguin si Candra bangun."
Tanpa menunggu jawaban, Praja bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan Lukas. Tujuannya kali ini koperasi, kalau sampai benar ia menemukan Erin disana, sudah dipastikan ia akan menendang pantat Lukas sampai lelaki itu terjerembab hingga salto dan menggelinding, gak deng.
Tak lama berjalan, kini Praja sudah sampai di koperasi sekolah dan benar saja ada seorang gadis yang duduk sendirian sembari topang dagu yang membelakanginya.
"Erin," sapa Praja.
"Praja?" Gadis itu tampak terkejut dan sedikit takut.
Praja tersenyum tipis, "Santai aja, gue nggak gigit kok."
"O-oke." Erin tersenyum kikuk.
"Lo dari tadi disini?"
Erin menganggukkan kepalanya, "Iya, kenapa?"
Tuh kan. Setelah ini ingatkan Praja untuk menendang pantat Lukas dan memberi bonus dengan menoyor dahi lelaki tidak becus itu.
"Nunggu Jidan, ya?"
Lagi lagi Erin menganggukkan kepalanya, "Hampir satu jam Jidan nggak balik balik padahal cuma beli es krim di Alfaseptember depan, katanya aku disuruh nunggu disini aja ntar dia bakalan balik sambil bawain es krim," jelasnya.
Praja memainkan tangannya gelisah, ia tak tega harus mengatakan semuanya kepada Erin saat ini. Apalagi ketika melihat raut exited Erin saat bercerita bahwa gadis itu harus menunggu karena Zidan akan segera kembali. Yang padahal mau selama apapun Erin menunggu disini, Zidan tak akan pernah kembali ke tempat ini sambil membawa es krim.
"Kamu kenapa? Raut mukanya kayak gelisah?"
Praja berdehem untuk menetralkan perasaan gelisahnya, "Lo ikut gue, mau?"
"Kemana?" Erin menaikkan satu alisnya bingung.
"Ikut aja pokoknya, gue janji nggak bakalan ngapa ngapain lo jadi tenang aja."
Erin menggelengkan kepalanya, "Enggak deh, aku mau nungguin Jidan disini aja."
"Tapi Jidan nggak bakalan dateng." Praja menggigit bibir bawahnya merasa bersalah dengan kalimat yang tiba tiba terlontar dengan sendirinya.
"Maksud kamu Jidan bohongin aku? Atau kamu emang sengaja sok baik sama dia, terus kamu sengaja jebak dia, iya kan?" tuding Erin memicingkan matanya, emosinya sedikit naik karena sepertinya Praja tidak benar benar berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Jugendliteratur"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022