Kedua sejoli yang bersandar di bawah pohon itu masih terdiam tak ada yang membuka suara. Erin melirik lelaki di sampingnya yang hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong, ini adalah kali pertama Erin melihat sisi Zidan yang lainnya karena memang lelaki itu pandai sekali menggunakan topeng saat di depan orang orang.
Erin mengusap rambut Zidan dan tersenyum tipis, "Aku menghargai keputusan kamu kalo memang kamu nggak bisa cerita."
Sang empu menoleh, kini tatapannya terlihat putus asa, "Aku bahkan nggak tau apa yang mau aku ceritain ke kamu."
"It's okay, tapi aku disini untuk kamu. Kamu nggak sendirian Jie, aku selalu ada di samping kamu kalo kamu butuh bahu."
"Aku capek selama ini cuma diem saat dirundung oleh mereka, bahkan aku juga nggak ngerti sama diriku sendiri. Setiap kali aku mau balas perbuatan mereka aku nggak pernah bisa, rasanya sulit bahkan untuk sekedar membalasnya dengan kalimat," tutur Zidan menatap lurus ke depan.
"Membalas orang orang yang selalu meremehkanmu itu tak harus dengan kalimat yang bahkan akan dianggap angin lalu oleh mereka, lebih baik kamu berusaha untuk menjadi seseorang yang tak akan pernah dipandang sebelah mata oleh orang orang. Mungkin aku nggak bisa bantu kamu karena semuanya tergantung sama diri kamu sendiri, tapi aku mohon kalo kamu memang lagi ngerasa frustasi jangan pernah nyakitin diri sendiri, dirimu yang hebat sudah bertahan sampai detik ini lebih berharga daripada apapun yang ada di dunia ini. Lain kali kamu harus menoleh ke belakang, disana ada aku yang tak pernah membiarkan kamu berjalan terseok seok seorang diri."
Tepat setelah Erin menyelesaikan kalimatnya, Zidan langsung berhambur ke pelukan gadis itu. Suara tangis yang berusaha diredam itu masih terdengar di telinga Erin.
"Nangis aja, keluarin semua beban kamu lewat air mata dan setelahnya kamu harus kembali bahagia."
"Er, jangan tinggalin aku," lirih Zidan yang masih bisa didengar oleh Erin.
"Aku disini Jie, aku nggak akan kemana mana."
Erin mengusap rambut Zidan dengan lembut, melihat lelaki itu yang terlihat sangat rapuh membuatnya tak bisa membendung air matanya agar tak jatuh. Erin masih tak mengerti alasan orang orang itu melakukan perundungan, yang jelas perbuatan mereka benar benar kelewatan apalagi jika orang orang yang melihatnya hanya diam tanpa berniat untuk mencegah. Mereka semua melihat seseorang yang sedang disiksa, dipukul, dan diperlakukan layaknya boneka lantas kenapa mereka semua bersikap seperti orang bodoh yang tak tau apa apa? Dimana hati nurani mereka sebenarnya.
"Semesta jahat ya, Jie?"
Zidan menggelengkan kepalanya, "Semesta nggak jahat Er, yang jahat itu manusianya."
Erin terdiam beberapa saat setelah Zidan mengatakan kalimatnya dengan lirih, "Jie, kamu harus lapor kepada pihak sekolah."
Zidan langsung menegakkan tubuhnya dan menggelengkan kepalanya kuat, "Enggak, aku nggak setuju sama saran kamu."
"Terus? Kamu mau diam aja disiksa kayak gini?"
Lelaki itu menghembuskan napasnya panjang, "Iya kali," jawabnya ragu, "yang terpenting para abangku nggak tau tentang semua ini, dua bulan lagi aku udah lulusan aku masih bisa kok bertahan sampe akhir."
Erin mengerjapkan matanya dengan raut cengo, sungguh ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Zidan saat ini.
"Dua bulan bukan waktu yang singkat Jie, apalagi setiap hari mereka selalu merundung kamu pasti satu hari pun rasanya sudah seperti satu abad."
"Aku nggak papa, yang terpenting para abangku nggak khawatirin aku selama di sekolah. Mereka semua punya kesibukan dan mimpi masing masing, aku nggak mau mengganggu waktu belajar maupun waktu bekerja mereka. Aku juga harus sibuk belajar walaupun mungkin aku udah terlambat karena ujian akan diadakan satu bulan lagi, tapi bukankah tak ada kata terlambat ketika kita bangkit untuk kembali mencoba?"
![](https://img.wattpad.com/cover/307837849-288-k120951.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022