Bagian 33

1.6K 101 22
                                    

Di taman rumah sakit, tepatnya di bangku putih tulang yang menghadap ke arah pancuran kolam ikan. Erin terduduk sembari menatap lurus air mancur di depannya, disaat air mancur mengalir bersamaan dengan itu air matanya juga ikut turun.

Dibelakangnya dua orang lelaki menatap Erin dengan rasa iba, sesekali mereka menghela napas dan saling pandang karena tak bisa membantu apa apa.

"Er, udah kek nggak usah nangis. Gue tau lo sedih, tapi kita nggak tau cara nenangin lo anjir," celetuk Lukas.

Praja langsung menyenggol lengan Lukas dan mendelik tajam, mulut lelaki itu benar benar minta dipukul pake sepatu pantofel. Praja melirik jam tangannya, jarum jam sudah menunjukkan di angka dua.

Lelaki itu bangkit dan berdiri di depan Erin yang sedari tadi hanya diam mematung menatap pancuran air. "Er, ayo ke kantin dulu, dari tadi lo belum makan apapun."

Erin mendongak sekilas, dari wajahnya ia terlihat seperti gadis yang telah kehilangan semangat hidup. "Aku nggak laper, kalian kalo mau ke kantin nggak papa."

"Ya udah kalo nggak mau ke kantin. Ayo liat Jidan sekarang, percuma lo dateng kesini kalo lo cuma duduk di taman rumah sakit."

"Keluarga Jidan pasti lagi butuh waktu buat ngomongin banyak hal, jadi aku mau--"

"Nunggu?" potong Lukas terlihat lelah, "mau sampe kapan nunggu mereka? Kalaupun lo dateng lo nggak mungkin diusir."

"Candra waktu itu kemakan omongan Olin, dia nggak bakalan nyuruh lo jauhin Jidan lagi," tutur Praja.

Erin terdiam sejenak, ia ingin segera bertemu dengan Zidan. Namun disisi lain, ia tak ingin mengganggu keluarga Zidan yang pastinya mereka pasti sedang berbicara banyak hal disana, pikirnya.

"Tapi aku takut ganggu."

"Enggaklah anjir, lo ceweknya Jidan," timpal Lukas gemas, pasalnya Erin ini terlalu overthiking, "kalo nggak mau ikut mending gue sama Praja aja yang kesono, kita mah niatnya mau jenguk."

Setelah terdiam beberapa saat untuk berpikir akhirnya Erin bangkit dari duduknya dan mengusap jejak air matanya yang sudah mengering.

"Mataku keliatan abis nangis nggak, Ja?"

Praja menghela napas berat, "Keliatan lah, mata lo bengkak dari tadi nangis mulu."

"Jidan pasti nggak suka aku nangis," lirih Erin.

"Nggak papa, kalo lo nggak nangis malah kesannya aneh."

"Aelah buruan woy! Ngobrol aja lo berdua!" pekik Lukas yang ternyata sudah berjalan sampai koridor rumah sakit.

Di sisi lain, Candra duduk di di bangku rumah sakit dengan tatapan kosong. Ia sudah tak menangis, tapi bukan berarti ia sudah merasa lega, bahkan lelaki itu tak berhenti merapalkan sebuah doa untuk sang adik yang sedang berjuang di dalam sana.

Pintu ICU berdecit, menampilkan Satria dengan mata bengkaknya yang baru saja keluar dari ruangan. "Candra, nggak mau masuk?"

Candra menoleh kearah Jordan di sampingnya, "Nggak papa, Mas?"

Jordan tersenyum tipis, "Nggak papa, tapi kamu jangan sembarang peluk Jidan, ya."

Candra menganggukkan kepalanya, ia bangkit dari duduknya dan menoleh kepada para abangnya yang kini tengah menatapnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Seolah mereka semua meyakinkan Candra untuk segera masuk dan melihat keadaan Zidan di dalam sana.

"Candra masuk dulu ya A, Mas, Abang."

"Can, hati hati ya jangan sampe lukain Jidan," ujar Haikal tersenyum tipis.

365 PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang