Angin sepoi sepoi yang berhembus pelan seolah mengiringi keheningan malam di tengah tengah dua sejoli yang duduk berdampingan. Sudah terhitung lima menit tak ada yang membuka suara, seolah hanya dengan terdiam mereka bisa menikmati waktu bersama agar terasa lebih lama.
Suara helaan napas memburu membuat sang lelaki menoleh ke samping kiri, ditemukannya si gadis dengan tatapan datar.
"Kamu mau ngomong apa? Kalo nggak jadi mending aku masuk aja," ujar Erin terdengar sedikit ketus.
"Aku kangen, Er."
Alis Erin naik satu, "Kita hampir setiap hari ketemu di sekolah, Jie."
"Aku kangen sama kamu yang dulu," lanjut lelaki itu setelah terdiam cukup lama.
"Kan kamu--"
"Iya aku tau aku harus ngasih kamu waktu sendiri untuk menyelesaikan semua masalah kamu, dan mungkin untuk sedikit merenungi tentang hubungan kita. Tapi semakin lama kita nggak saling bertegur sapa dan bahkan lewat chat pun kamu balesnya lama, itu sama aja buat hubungan kita semakin renggang, Er. Kita udah jauh banget, aku nggak bisa kalo kayak gini terus," tutur Zidan dengan raut sendunya, "kita harus selesaikan semuanya sekarang."
Erin terdiam cukup lama, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Zidan. Sebenarnya bukan hanya lelaki itu saja yang merasa kalau mereka sudah semakin menjauh, ia pun merasa demikian.
"Kamu maunya gimana?"
Lelaki itu langsung menoleh cepat, "Maksudnya?"
Tiba tiba napasnya seperti tercekat, rasanya sulit untuk mengatakan kalimat setelahnya. Lebih tepatnya Erin tak siap melihat respon dari lelaki yang sedari tadi menatap matanya, menunggu kalimat yang akan terlontar dari mulutnya.
"Kita break atau selesai."
Zidan terdiam tak merespon apapun, sorot matanya menatap manik mata coklat yang berkaca kaca itu dengan sendu. Dugaannya tak salah, kalimat itu benar benar keluar dari mulut Erin.
"Aku nggak tau apa yang ada di benak kamu saat ini, Er. Yang aku tau kamu nggak bener bener yakin ngeluarin kalimat kayak gitu, jauh dari lubuk hati kamu, kamu nggak akan pernah ninggalin aku gitu aja, kan?" Zidan menaikkan satu alisnya.
"Why not?"
"Mata kamu berkaca kaca, sorot mata kamu juga penuh penyesalan dan kebohongan. Kamu nggak bener bener mau mutusin aku."
Erin langsung memalingkan wajahnya ke arah lain, detik itu juga air mata yang berusaha ia bendung di pelupuk mata kini langsung runtuh begitu saja. Benar apa yang dikatakan Zidan, ia tak pernah sekalipun ingin meninggalkan lelaki itu, ia tak ingin break apalagi putus. Hanya saja keadaan yang memaksanya untuk berkata demikian, ia hanyalah seorang manusia yang takut dan mudah menyerah dengan iming iming 'itu semua demi Zidan'.
Tangis Erin pecah saat tubuhnya didekap erat oleh lelaki di sampingnya, usapan di kepala dan kata penenang itu membuatnya semakin merasa bersalah kepada lelaki baik yang bisa menerima segala kekurangannya dan tak pernah sekalipun menyakiti dirinya.
"Hust, jangan nangis. Aku masih disini, Er."
Tak ada yang bersuara lagi, tangis si gadis masih terdengar sesenggukan. Tangan besar itu tak berhenti mengusap surai hitam kekasihnya.
"Aku bakal peluk kamu dengan erat, sebelum kita bener bener berpisah."
Di dekapan lelaki itu Erin menggelengkan kepalanya berkali kali, tangannya mencengkram erat kemeja yang Zidan kenakan, tangisnya kembali pecah dan terdengar memilukan. Ingin rasanya Erin mengiyakan semua perkataan Zidan tadi, ingin rasanya ia berteriak bahwa ia sangat menyayangi lelaki itu, ingin rasanya ia menarik kembali kata katanya beberapa menit yang lalu, tapi keadaan seolah mencekik dan memaksa dirinya untuk mengakhiri semuanya sekarang juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Novela Juvenil"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022