Bagian 7

1K 106 4
                                    

Andrew membuka pintu kamar Erin dengan pelan, berniat untuk membangunkan sang empu karena jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Namun saat pintu kamar terbuka, ternyata Erin tak ada di kamarnya, ranjangnya kosong dan sudah rapi.

"Erin?" panggil Andrew panik.

Suara gemercik air dari kamar mandi membuat Andrew langsung mengusap dadanya lega, "Ternyata di kamar mandi."

Andrew berjalan masuk dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang Erin, menunggu putrinya keluar dari kamar mandi sembari melihat sekeliling kamar. Matanya terhenti di atas nakas, sebuah foto seorang wanita tersenyum lebar ke arah kamera dengan bayi yang digendongnya itu bertengger manis disana.

Andrew mengulurkan tangannya berniat untuk mengambil foto tersebut, namun ia langsung mengurungkan niatnya saat mendengar pintu kamar mandi yang berdecit dan menampilkan sosok Erin yang sudah lengkap dengan seragam sekolahnya.

"Papa," sapa Erin tersenyum hangat.

Gadis itu memakai alat bantu mendengar yang tergeletak di atas nakas. Ya, Andrew yang memberikannya semalam yang katanya itu adalah sebuah hadiah.

"Sudah siap bersekolah kembali, Erin?"

Erin menganggukkan kepalanya semangat, "Siap! Erin nggak sabar mau sekolah lagi Pa."

Adrian terkekeh pelan, "Sangking nggak sabarnya masih jam lima udah siap siap, padahal Papa juga belum mandi."

"Dari semalem nggak bisa tidur Pa," sahut Erin mencengir kuda.

Andrew bangkit dari duduknya, "Ya sudah Papa mau mandi dulu, niatnya Papa kesini mau bangunin kamu tapi ternyata malah kamu sudah bangun duluan," tuturnya mengacak rambut Erin sebelum melenggang keluar.

"Iya Pa," balas Erin menganggukkan kepalanya.

"Papa ngerasa canggung juga nggak ya barusan."

Erin menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ntah kenapa saat berada di dalam satu ruangan dengan Andrew rasanya ia masih sangat canggung. Mungkin karena ia belum terbiasa, toh lama kelamaan rasa canggung itu pasti akan hilang dengan sendirinya, pikirnya.

Di tempat lain, Zidan berjalan menuruni tangga dengan sedikit sempoyongan, bukan karena pusing tapi karena ia masih mengantuk namun ntah kenapa matanya justru sudah melek duluan sebelum dibangunkan oleh abangnya.

Saat berada di ujung tangga perasaan Zidan sudah tak enak melihat Haikal dengan handuk yang semampir di bahunya tengah berjalan dari arah dapur.

"Ututu Jwidan udah bangun."

Tuh kan tebakan Zidan tak meleset. Haikal lari menghampirinya dengan tampang tengil yang berusaha menoel pipinya, untung saja Zidan langsung menghindar.

"Pagi pagi nggak usah ngajak berantem lo a," sahut Zidan berkacak pinggang.

Karena Zidan lebih tinggi-- eh ralat, lebih tinggi sedikit maksudnya, iya sedikit dari Haikal. Haikal pun mendongakkan kepalanya sedikit.

"Sensi amat," cetus Haikal mencebikkan bibirnya sebal, "btw tumben lo udah bangun biasanya juga harus dibangunin orang rumah dulu."

"Nggak ta-- MAS RION!"

Rion yang sedang mengambil sebotol susu pororo di kulkas hanya mencengir kuda memperlihatkan sederet gigi rapihnya saat kepergok oleh yang punya.

Zidan berjalan tergopoh gopoh menghampiri abangnya itu, "Jadi, Mas Rion perlakunya?!"

"Ya salah sendiri taro di kulkas, Mas ambil lah soalnya enak Jie," sahut Rion tersenyum lebar tanpa merasa bersalah.

"Padahal Jidan awalnya mau nuduh a Haikal," sahut Zidan menunjuk Haikal di depannya.

365 PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang