"A Tara lagi otw kesini. Gue diskors selama tiga hari, dan beasiswa gue bakal dicabut."
"HAH?!"
Mata Zidan membola dengan mulut yang menganga lebar. Segitunya? Hanya karena Candra berkelahi sampai beasiswanya dicabut? Bahkan dulu ada kasus pembullyan tapi saat itu sang pelaku hanya di skors selama dua hari, kasus pembullyan itu lebih parah dari berkelahi namun hukumannya lebih berat yang berkelahi?
"Gue nggak tau ini maksudnya gimana, tapi yang gue yakin si Praja Praja itu sengaja. Gue mukulin dia sampe tepar tapi dia nggak bales sama sekali, nggak mungkin kalo berandalan kayak dia nggak bisa berantem," tutur Candra memijat pelipisnya.
"Bentar bentar, ini lo cuma mukulin orang doang masa beasiswanya dicabut? Sebelumnya lo nggak pernah ngelakuin kesalahan apa apa kan? Minimal dikasih peringatan dulu lah anjrit!" pekik Zidan tak terima.
Candra mengusap wajahnya gausar tubuhnya ia sanderkan di senderan kursi, "Katanya gue siswa berprestasi lah, paling pinter di kelas unggulan lah, jadi panutan buat orang lain lah. Tapi kok tiba tiba gue mukulin orang, mungkin mereka kecewa karena siswa yang mereka bangga banggain ngelakuin kesalahan. But i don't know, tapi gue ngerasa kayak ada yang aneh terutama tentang oknum yang namanya Praja itu."
Zidan terdiam, mencerna kalimat yang dilontarkan Candra. Praja itu anak berandalan, Zidan tau betul Praja dan teman temannya sering bolos saat masih kelas XI dulu, tidak mungkin kan jika anak berandalan tidak bisa berkelahi? Bahkan tadi pagi saja Praja dan Lukas memukulnya.
"Kalo menurut Paman, coba kamu ajak Praja ngobrol. Mungkin kamu bisa tanya apa kamu pernah ada salah sebelumnya sampai sampai dia ngelakuin ini ke kamu," ujar Roni angkat bicara.
"Mana bisa ngobrol sama dia Paman, kalo tiba tiba dia mancing emosi bisa ditambah hukuman Candra. Tapi kayaknya Praja itu benci sama Candra gegara dulu sering Candra aduin ke guru BK."
Zidan menghembuskan napasnya pasrah, "Ntar gue tanya deh sama Praja, kali aja emang ada maksud lain."
"Maybe masalah si Praja Praja itu udah selesai, semoga aja sih. Selanjutnya pikirin masalah a Tara." Candra menatap lurus ke depan dengan raut sendu yang terpancar jelas di wajahnya, "gue nggak masalah bakal dimarahin abis abisan, tapi gue udah ngelakuin kesalahan yang bikin a Tara tambah susah."
"Kalo beasiswa lo dicabut, kedepannya bayar dong," sahut Zidan, "bukan cuma a Tara, tapi Paman juga. Secara dia juga bantu biayain sekolah kita yang nggak bisa dibilang murah."
Kedua lelaki bersaudara itu menatap lurus ke depan dengan tubuh yang bersandar di sandaran kursi, pikiran mereka berkecamuk bercampur dengan perasaan bersalah dan takut. Tak ada yang membuka pembicaraan lagi setelah Roni meninggalkan keduanya untuk melayani siswa yang ingin memfotokopi.
Tak lama Roni kembali menghampiri kedua remaja yang masih terdiam membisu sedari tadi, Pria itu meletakkan dua gelas air putih di depan keduanya. Fyi, disamping koperasi sekolah ini ada meja panjang dan beberapa kursi yang biasanya digunakan untuk menongkrong.
"Minum dulu, jangan terlalu dipikirin. Berdoa saja semoga beasiswa Candra tidak jadi dicabut."
Keduanya langsung tersadar dari lamunannya, menganggukkan kepalanya serentak, dan menyeruput segelas air putih yang dibawakan oleh Roni.
"Makasih Paman."
Zidan bangkit dari duduknya, "Gue mau nemuin Praja dulu," ujarnya menepuk bahu Candra.
"Dia nggak bakalan ngapa ngapain lo kan? Gue cuma takut aja sih secara dia kan berandal," sahut Candra terlihat khawatir.
"Enggaklah, gue kan nggak ada salah sama dia," ucap Zidan, "ya udah Jidan pergi dulu, Assalamualaikum."
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022