Dengan napas tersengal sengal Erin memasuki mobil Andrew yang berhenti di depan gerbang sekolah. Ia berlari karena Olin yang baru saja menelepon dengan segala umpatan kesalnya.
"Lo dari mana aja sih?!" desis Olin setelah Erin duduk di sampingnya.
"Maaf, tadi aku dari koperasi dulu," jawab Erin lirih.
"Olin kamu jangan membentak Kakak kamu," ujar Andrew ikut angkat suara dengan lembut.
Olin memutar bola matanya malas, "Belain aja terus," cibirnya.
Suasana di mobil menjadi hening, lebih tepatnya menjadi canggung. Andrew melirik dari pantulan kaca mobil, dilihatnya Erin yang sedari tadi hanya menundukkan kepala. Mungkin ia merasa tak enak karena membuat Olin marah dan menunggunya terlalu lama, pikirnya.
"Kamu abis ketemu Zidan Er?" tanya Andrew memecah keheningan.
Erin langsung mendongakkan kepalanya dan tersenyum tipis, "Iya Pa."
"Tunggu, Zidan yang lo maksud bukan Kak Jidan kelas dua belas kan?" tanya Olin memicingkan matanya.
Erin menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Jidan yang aku maksud emang itu, Jidan adiknya Candra," lirihnya.
Olin langsung membulatkan matanya, "Jadi lo kenal sama Kak Candra?! Lo siapanya Kak Jidan?"
"Pacar," cicit Erin lirih.
Ntahlah jika berbicara dengan Olin ia selalu menjawabnya dengan lirih, bukan apa ia hanya takut saja saat melihat tatapan tajam gadis itu, apalagi Olin juga sering membentaknya.
"HAH?! PANTESAN LO-- nggak jadi."
Olin langsung memalingkan wajahnya ke arah lain karena ia teringat masih ada Andrew disini. Kalau ia membentak Erin di depan Andrew pasti pria itu akan memarahinya dan mengatakan kalau ia tak sopan kepada Kakaknya, menyebalkan.
"Kenapa, Olin?"
Olin menghembuskan napasnya panjang, "Olin ketemu sama Kak Candra Pa, dia sekolah di SMA Persada juga."
"Wah bagus dong akhirnya kamu ketemu lagi sama Candra yang bikin kamu uring uringan selama tiga tahun belakangan ini. Tapi kenapa muka kamu kayak kesel gitu?"
"Nggak papa."
"Apa karena Candra udah punya cewek lain?" tebak Andrew.
"Ish enggak lah! Mana ada cewek lain yang boleh pacaran sama Kak Candra, Kak Candra tuh cuma punya Olin," sahut Olin memasang raut kesalnya dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
Andrew yang melihatnya dari pantulan kaca pun terkekeh, "Iya iya Candra cuma punya kamu, semoga kamu bisa balikan lagi sama dia."
"Kita nggak putus Pa! Papa masa nggak tau sih?!" rengek Olin terlihat kesal.
"Loh belum putus? Ya Papa mana tau Olin, waktu itu kamu nangis sampe mata kamu bengkak Papa kira kalian putus."
Olin menegakkan tubuhnya, "Jadi gini ya Pa, dulu tuh Kak Candra kan pamit mau pindah ke Jakarta nah terus Kak Candra bilang mau selesai, tapi Olin nya kan nggak mau jadi belum resmi putus dong. Tadi juga Kak Candra peluk Olin, ini hoodie yang dipake Olin juga punya Kak Candra karena tadi ujan ujanan," tuturnya dengan semangat mengangkat hoodie hitam yang melekat di tubuhnya.
Andrew menganggukkan kepalanya paham, "Bagus dong kalo begitu, kalo kamu seneng Papa juga seneng."
Mobil Andrew berhenti di halaman rumah bercat putih gading setelah dibukakan gerbangnya oleh satpam rumah, "Udah sampe, silahkan turun Papa harus ke kantor lagi."
"Loh, Papa belum waktunya pulang?" tanya Olin bingung.
"Belum, cuma mau jemput kalian aja sih sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022