Epilog

1.7K 99 29
                                    

Kali ini suasana berbeda tak seperti pagi pada hari hari sebelumnya, di meja makan yang biasanya hanya diisi oleh tujuh orang personil kini bertambah menjadi sembilan personil. Satu kursi yang seharusnya diisi oleh si bungsu kini diisi oleh bocah laki-laki, sedangkan dua kursi lainnya diisi oleh Paman dan Bibi.

Fyi, Tante Ratih dan keluarganya sudah kembali ke Bandung sejak subuh tadi karena sang suami ada urusan mendadak yang mengharuskan mereka untuk pulang.

"Semalem Ardi tidur sama Abang Satria, ya?" tanya Tara mengacak gemas rambut bocah laki-laki dengan mulut belepotan nasi itu.

"Iya Aa, semalam Aldi dengel Abang Satlia nangis kasian banget, tapi Aldi ndak belani bangun tatut Abang malu," celetuk bocah laki-laki itu dengan polos.

Jordan terkekeh sembari melirik Candra di depannya, "Itu samping kamu juga semalem tiba tiba nangis, Di."

"Lah iya, mana Candra di ranjang atas kan kirain ada apaan disono," imbuh Haikal.

Candra menatap Jordan dan Haikal sinis. "Lemes banget mulut lo berdua."

"Lah itu si Satria di roasting Ardi aja diem bae," balas Haikal santai.

"Emang fakta, makannya aku diem aja," sahut Satria.

"Memangnya Abang Jidan ndak pulang lagi, ya?" tanya Ardi polos, "biasanya Aldi sama Abang Jidan suka makan dulen baleng, telus abis itu kita sepedaan atau jalan jalan Aldi digendong sama Abang."

Semua orang terdiam mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ardi. Sebelumnya Ardi dan Zidan ini sangat dekat seperti apa yang dikatakan oleh Ardi. Zidan sering mengajaknya jalan jalan dan sepedaan, karena memang selain menyukai anak kecil sebenarnya Zidan itu ingin mempunyai seorang adik, alias dia tak mau menjadi si bungsu.

Maka dari itu jika Ardi datang ke Jakarta atau dirinya yang datang ke Solo, hal yang pertama kali dilakukan yaitu mengajak Ardi jalan jalan atau sepedaan.

"Kok pada diam? Abang Jidan ndak pulang lagi, ya, Ma?" Bocah lelaki itu menatap seorang wanita yang ada di sampingnya.

Wanita itu tersenyum tipis, "Ardi harus besar dulu, nanti kamu akan tau yang sebenernya. Ayo makan yang banyak dong biar cepet gede," ujarnya memberi semangat.

Ardi langsung menyuapkan nasi ke dalam mulutnya dengan lahap, "Aldwi mawu cwepet kwetwemu Abwang bwiar bwisa mwain lwagi," ujarnya dengan mulut penuh.

Semua orang yang berada di sana hanya bisa tersenyum kecut, andai Ardi tau mau sebesar apapun Ardi tumbuh ia tak akan bisa bertemu dengan Zidan, Zidan tak akan pernah kembali, Zidan tak akan pernah pulang, Abangnya sudah pergi.

"Candra, kamu berangkat jam berapa?" tanya Paman.

Lelaki yang sudah siap dengan setelan black suit itu mendongak, "Acaranya dimulai jam delapan sih Paman, tapi Candra mau berangkat jam tujuh. Mau ke makam Jidan sebentar," tuturnya.

"Yang lain, ikut dampingi Candra semua?" tanya Bibi.

"Mungkin kita dirumah dulu terus nanti nyusul. Kayaknya nggak enak dilihat sama tetangga lagi berduka malah nggak ada orang dirumah, Bibi," sahut Tara.

Bibi menganggukkan kepalanya, "Benar juga, kalo gitu Candra semangat ya, semoga nilai kamu bagus."

"Iya, Can. Biar bisa masuk di salah satu universitas Kanada," imbuh Paman.

"Amin!" semua orang berteriak dengan serentak.

Tiga orang lelaki berpakaian rapi dengan setelan black suit dan sepatu pantofel itu keluar dari mobil, satu diantara mereka menggendong buket bunga mawar putih di tangannya.

365 PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang