"Ikhlas itu perihal merelakan dan mendoakan, bukan terus menangis sampai berjam-jam."
-365 Pages-Dibawah langit mendung dengan awan hitam yang seolah berada persis di atasnya. Seorang gadis berpakaian serba hitam berjongkok di depan gundukan tanah, mengusap nisan bertuliskan 'Zidan Pradipta Aldevaro' dengan air mata yang terus membanjiri pipinya.
"Katanya kamu bakalan dateng dan bawain aku es krim, Jie," lirih Erin terisak.
Dadanya terasa sesak mengingat terakhir kali Zidan yang memintanya untuk menunggu di koperasi, sedangkan lelaki itu pergi membeli es krim untuknya. Namun pada akhirnya Zidan tak kembali, mau sampai kapanpun Erin menunggu di koperasi Zidan tak akan pernah kembali. Lelaki itu sudah pergi, untuk selamanya.
"Tau gini aku nggak bakalan minta dibeliin es krim."
Tubuh Erin bergetar hebat karena tangisnya yang tiba tiba meledak begitu saja. Bolehkah ia mengalahkan semesta karena telah merenggut Zidan dari semua orang? Apakah ia harus menyalahkan dirinya sendiri karena ia yang meminta es krim kepada Zidan? Ataukah ia harus menyalahkan orang lain? Siapa yang harus ia salahkan karena kepergian Zidan lali ini? Lantas bolehkah ia berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi? Jika benar, bisakah ia segera terbangun dari mimpi buruk ini?
Hujan yang tiba tiba turun dengan derasnya mengguyur tubuh Erin yang masih tak beranjak dari tempat. Air mata yang sedari tadi dibiarkan turun kini sudah bercampur dengan derasnya air hujan. Tubuh yang mulai terasa dingin karena angin sepoi-sepoi beradu dengan air hujan yang seolah menusuk kulitnya tak membuat Erin beranjak dari tempat, dengan adanya hujan ini apakah semesta turut bersedih atas kepergian Zidan?
"D-dingin, Jie. Aku butuh kamu."
Erin memeluk tubuhnya karena sudah merasa kedinginan, bibir gadis itu sudah terlihat pucat dan bergetar. Ia menundukkan kepalanya berharap datang seorang Zidan yang tiba tiba memeluknya dari belakang, memberikan kehangatan dan kata kata penenang. Namun itu semua hanyalah angan angan yang tak akan pernah menjadi kenyataan.
Derap langkah seseorang bersamaan dengan sebuah payung yang melindunginya dari derasnya hujan membuat Erin terkejut dan tersenyum lebar.
"Jidan?!"
Secepat kilat Erin mendongakkan kepalanya. Namun detik berikutnya raut sumringah itu langsung sirna begitu saja.
"Gue Candra, Er. Hujannya deras banget, gue anterin lo pulang, ya," ucap Candra.
Erin menggelengkan kepalanya, "Aku masih mau disini, Can. Aku masih mau liat Jidan."
"Lo keinginan, bibir lo udah pucet banget, nanti lo sakit."
"Nggak papa, aku masih mau disini." Erin berusaha tersenyum tipis.
Terdengar helaan napas lelah yang keluar dari mulut lelaki yang sedari tadi memegangi payung itu. "Kalo lo sakit karena mau disini nemenin Jidan, emang dia nggak sedih? Emang Jidan mau liat lo sakit karena dia? Lo sedih gue juga sedih, semua orang sedih karena Jidan pergi."
Erin terdiam beberapa saat. Apa yang dikatakan oleh Candra itu, benar. Zidan pasti tak mau melihatnya sakit karena ia yang bersikeras untuk tetap tinggal di bawah hujan. Ia tak boleh egois, semua orang terdekat Zidan juga sedih, tapi mereka sudah berusaha mengikhlaskan Zidan dengan perlahan, ia pun harus sama seperti itu.
"Pulang ya, Er. Gue anterin." Candra tersenyum simpul berusaha meyakinkan.
Akhirnya Erin menganggukkan kepalanya, "Maaf aku childrish banget."
"Gue ngerti perasaan lo, tapi lo juga harus jaga kesehatan diri lo. Lain kali lo bisa kunjungi Zidan kapanpun lo mau," tutur Candra.
Kedua remaja itu berjalan beriringan dengan payung yang melindungi mereka dari derasnya hujan, perlahan dua pasang kaki itu melangkah meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Zidan, berpisah dengan seseorang yang berarti dalam hidup mereka untuk selamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022