Zidan menghembuskan napasnya panjang, setelah dirasa siap ia mendorong pintu kaca yang ada di depannya tanpa ragu ragu. Atensi orang yang ada di dalam ruangan itu langsung tertuju pada seseorang yang baru masuk.
"Jidan, wah udah lama kamu nggak dateng kesini, ayo silahkan duduk," ujar seorang lelaki bersetalan jas putih yang menyapanya dengan antusias.
"Selamat siang Dokter," sahut Zidan tersenyum dan mendudukkan dirinya di depan orang itu.
"Siang." Namanya Fahreza atau yang biasa dipanggil dokter Reza, seorang psikiater yang satu tahun belakangan ini menangani Zidan.
"Bagaimana kabarmu, Jie?"
Zidan membalasnya dengan tersenyum simpul, lebih tepatnya memaksakan diri untuk menyunggingkan bibirnya. Ditatapnya dokter muda yang terpaut lima tahun lebih tua darinya itu, lalu ia menggelengkan kepalanya dengan sangat pelan.
"Ada cerita apa hari ini, hem?" tanya Reza dengan senyum hangatnya.
"Saya cuma mau sembuh Dok, saya capek bergelut sama pikiran saya sendiri yang nggak pernah sejalan," tutur Zidan menundukkan kepalanya.
"Bahkan selama tiga bulan kamu baru ke tempat saya sekarang, bagaimana kamu bisa sembuh," balas Reza pasrah, "tunggu, itu tangan kamu berdarah biar saya obatin dulu."
Reza bangkit dari duduknya mengambil kotak P3K, setelahnya ia menuangkan alkohol dan mengobati jari jari Zidan dengan telaten.
"Kali ini apa yang kamu pukul?"
"Pohon."
"Lain kali beli samsak aja Jie sekalian latihan fisik," ujar Reza terkekeh kecil.
Zidan tersenyum tipis, "Dirumah ada punya Mas Jojan, tapi kalo samsak ntar nggak sakit Dok."
Reza terkekeh, tak habis pikir dengan jalan pikiran pemuda yang ada didepannya ini, "Kalo memang pengen sembuh makannya jangan bandel, kalo disuruh dateng ke tempat saya ya dateng Jie. Nggak usah pake minum obat penenang ataupun obat tidur segala, obat kayak gitu efeknya cuma sesaat."
"Saya sudah ketergantungan dokter."
"Ya maka dari itu kamu harus rutin datang kesini. Gangguan depresi mayor itu harus ditangani dengan beberapa terapi dan obat anti-depresan dari dokter, nggak ada gunanya kalo kamu cuma minum obat obatan kayak gitu."
Zidan menganggukkan kepalanya semangat, "Oke, mulai Minggu ini saya akan rutin menemui Dokter," tekadnya.
"Nah gitu dong semangat, Minggu depan saya beliin susu Pororo kalo kamu dateng."
"Wah beneran Dokter?" Mata Zidan langsung berbinar mendengar kata susu Pororo, "tiap Minggu kan?"
Reza menghembuskan napasnya pasrah, "Ya nggak tiap Minggu juga Jie, itu namanya ngelunjak."
Bahu Zidan langsung merosot, "Yah, kirain tiap Minggu."
"Nggak, lagian udah bongsor gini kamu masih minum susu Pororo."
"Biarin, kan enak Dok."
Reza menghembuskan napasnya pasrah, terserah Zidan sajalah namanya juga remaja puber.
"Oke, sekarang kita mulai psikoterapi nya, ceritain apa yang ganggu pikiran kamu akhir akhir ini," tutur Reza mulai terlihat serius.
Selepas melakukan beberapa terapi dengan Dokter Reza, Zidan tak langsung pulang ke rumahnya. Dengan setelan seragam putih abu abu yang dibaluti hoodie hitam dan tas punggung yang masih setia digendongnya, setelah turun dari angkutan umum Zidan berjalan kaki untuk menuju ke danau yang ada di dekat pasar apung.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Подростковая литература"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022