Langit mendung disertai angin sepoi sepoi yang berhembus menerbangkan rambut yang menutupi dahi seorang lelaki dengan bola oren di tangannya. Dengan pikiran yang berkecamuk lelaki itu terus saja memantulkan bola basketnya dengan kasar, menyalurkan seluruh emosi yang sedari pagi ia tahan, lelaki itu adalah Candra.
Sekelibat bayangan tentang 'dia' tiga tahun yang lalu kembali bersarang di otak bagai kaset rusak yang tak akan pernah terputar kembali.
"Kak Canda, jangan pergi."
Bayangan gadisnya yang saat itu menangis sesenggukan sambil terus memukuli dadanya kembali memenuhi pikiran. Saat itu ia hanya bisa diam tak mengatakan apapun walaupun sebenarnya hatinya terasa nyeri saat melihat air mata yang turun disebabkan oleh dirinya.
"Kita selesai, aku harus pergi. Maaf...."
Kalimat itu, kalimat terakhir yang mampu ia ucapkan dengan lirih. Mati matian ia menahan air matanya agar tak jatuh, hatinya nyeri harus meninggalkan salah satu sumber kebahagiaannya, dadanya terasa sesak karena pada akhirnya takdir yang memisahkan keduanya lewat jarak.
"Argh!" Candra melembar bola basketnya asal, namun malah masuk dengan sempurna di ring basket.
Candra mengacak rambutnya frustasi. Ia berjalan di tepi lapangan dan mendudukkan dirinya di bawah pohon, mendongakkan kepalanya menatap langit mendung yang hampir turun hujan.
Tiga tahun setelah perpisahan itu tiba, Candra rasanya seperti orang gila karena bayang bayang 'dia' masih sangat melekat di otak dan hatinya, dan selama tiga tahun pula betapa tersiksanya ia dengan rasa rindu yang selama ini menggebu gebu untuk segera diobati dengan adanya pertemuan.
Namun kini, setelah penantian itu tiba. Setelah takdir mempertemukan kembali dengan sosok 'dia', hatinya seperti hancur berkeping keping, rasanya ia sudah tak mengenali sosok 'dia' yang sekarang.
"Kenapa kamu berubah, Olin," lirihnya menundukkan kepala menahan air matanya agar tak jatuh.
Ia kecewa, sedih, rasanya campur aduk tak karuan.
Langkah kaki seseorang dan sepasang sepatu yang berhenti didepannya membuat Candra mendongakkan kepalanya, matanya bertubrukan dengan mata coklat itu untuk beberapa saat lengkap dengan senyum lebar yang terbit di wajah cantiknya. Namun detik berikutnya Candra langsung memalingkan wajahnya dan bangkit.
"Kak," panggil gadis itu menahan lengan Candra.
"Lepas, Olin!" ketus Candra menepis tangan Olin dengan kasar.
Ia langsung melenggang dari tempat tanpa mempedulikan Olin yabg bergeming di tempat dengan mata memerah yang berkaca kaca.
Tak menyerah, Olin langsung mengejar Candra dan memeluk lelaki itu dari belakang.
"Kak aku masih sayang sama Kak Candra, jangan pergi lagi," lirih Olin bersamaan dengan air mata yang jatuh dari mata coklat tajamnya.
Candra terdiam mematung mendengar Olin yang menangis hingga gadis itu sesenggukan. Ia mengepalkan tangannya kuat, lagi lagi ia lah yang menjadi penyebab air mata itu turun.
"Tiga tahun Olin nungguin Kak Candra balik tapi penantian itu nggak pernah terjadi, dan sekarang rasanya seperti mimpi takdir mempertemukan kita kembali. Tapi kenapa Kakak berubah gini? Salah Olin apa, Kak," lirih Olin terdengar pilu.
Tak bisa menahannya lagi, Candra langsung berbalik badan dan merengkuh tubuh mantan kekasihnya itu. Hatinya langsung menghangat dengan jantung yang berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya.
Diusapnya surai pendek sebahu Olin dengan lembut yang membuat tangis sang empu semakin histeris. Tanpa terasa setetes air mata Candra jatuh bersamaan dengan rintik hujan yang turun dengan tiba tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Novela Juvenil"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022