Kini terhitung sudah h-4 graduation untuk para kelas XII, semua persiapan seperti gedung dan yang lainnya sudah disiapkan sejak jauh jauh hari. Para siswa pun merasa antusias dengan adanya acara kelulusan ini, namun banyak juga dari mereka yang merasa sedih karena setelahnya akan berpisah dengan para teman temannya.
Namun, lain dengan Zidan karena selama ini ia hanya sendirian dan tak mempunyai seorang teman justru hal inilah yang ia tunggu tunggu dari dulu. Ia ingin segera lulus dan keluar dari tempat yang menurutnya seperti neraka ini, agar selanjutnya tak akan ada lagi kesendirian dan perundungan yang ia dapatkan.
"Lo beneran mau ke Kanada Can?" tanya Zidan tiba tiba.
Candra yang sedang meneguk es teh nya langsung mendongak, "Iya, itu cita cita gue, Jie. Gue juga udah nyari beberapa beasiswa untuk kesana," sahutnya antusias, "kenapa muka lo kayak nggak seneng gitu?"
"Lo mau ninggalin gue?"
Sontak Candra langsung meledakkan tawanya sekencang mungkin tak peduli ia menjadi pusat perhatian seluruh penghuni kantin, yang jelas kalimat Zidan yang tak biasa ini membuatnya merasa geli saat mendengarnya untuk pertama kali.
"Nggak usah ketawa nggak ada yang lucu!" protes Zidan tak terima.
Bukannya apa justru ia lelah harus meminta maaf kepada para pengunjung kantin akibat tawa toa Candra yang mengusik ketenangan mereka.
Candra memegangi perutnya yang terasa keram, lelaki itu berusaha menghentikan tawanya dengan satu tangan yang lain menutup mulutnya.
"Huft pertama kali gue denger lo bilang gitu, gimana gue nggak ketawa dasar bayi!"
Zidan memutar bola matanya malas, "Udahlah lupain, mau lo pergi kemanapun bodo amat!"
Lelaki itu menusuk mie gorengnya dengan kasar, lalu menggulungnya di garpu dan menyuapkan di mulutnya menggunakan sedikit tenaga dalam hingga menimbulkan bunyi saat garpu itu ditarik keluar dan bergesekan dengan gigi rapihnya.
"Udah nih, gue jawab pertanyaan lo serius," ucap Candra setelah beberapa menit mengatur napasnya kembali.
"Udah nggak mood, gue nggak peduli."
"Ya udah kalaupun lo nggak mau dengerin berarti gue mau ngomong sendiri. Gue tau kita emang tumbuh bersama dengan usia yang terpaut beberapa bulan bahkan gue lebih nganggep lo sepantaran sama gue makannya gue nggak pernah protes lo nggak manggil gue dengan embel embel 'bang' bahkan semua orang rumah pun tau kalo gue juga paling deket sama lo, apa apa sama lo walaupun kita bukan temen sekamar. Jujur nih ya, tapi lo jangan geer apalagi ketawa awas aja lo ketawa gue timpuk pake sepatu, gue juga agak susah sih mau pisah sama lo secara walaupun gengsi lo tingginya sebelas dua belas sama tinggi badan lo tapi lo yang selalu peduli sama gue bahkan sampe sampe lo nggak pernah peduliin diri lo sendiri. Gue tau itu juga bukan sama gue doang dan emang dasarnya lo lebih pentingin orang lain daripada diri sendiri, tapi intinya lo yang selalu ngasih saran dan apapun sama gue, gue takutnya ntar nggak ada lagi yang ngasih saran dan perhatian kalo gue disana nanti."
Candra menutup kalimatnya dengan membuang muka, bukan apa ia hanya malu mengatakannya secara gamblang dengan adik bungsunya itu. Namun ia selalu berpikir bahwa selagi masih bersama dengan seseorang yang berarti dalam hidup kita, setidaknya kita sudah mengucapkan beberapa hal yang harus mereka ketahui sebelum akhirnya perpisahan akan menjadi akhir dari semuanya.
"Can, lo malu kan?" kekeh Zidan pelan.
"Gue timpuk pake sepatu lo ketawa!"
Zidan terkekeh pelan, "Aneh banget lo bicara gitu, rasanya kayak nggak mungkin gue segitunya sama lo?"
"Segitunya? Kalo ngomong yang jelas anjir bikin ambigu aja."
"Maksudnya emang gue sepeduli itu sama lo? Kayaknya gue nggak segitunya sih, gue ngerasa kalo gue ngelakuin apapun dengan biasa aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022