"Sekarang Erin sendirian Jie," ujar Erin setelah menapakkan kakinya dirumah.
Zidan hanya diam di samping gadis itu, tetap merengkuh tubuh mungilnya berusaha memberikan kekuatan. Pemakaman Lestari baru saja selesai, dan kini ia akan menemani Erin untuk beberapa saat.
Mata Erin menjelajahi seisi rumah dengan sendu, sekelibat bayangan hari harinnya dengan Lestari membuat air matanya kembali turun. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa ada Lestari disampingnya, ia pasti akan bosan tak ada yang diajak untuk bercengkrama, dan ia pasti akan kesepian karena dirumah sendirian.
Dadanya terasa sesak, sangat sulit untuk menerima bahwa semua ini adalah nyata. Lestari benar benar sudah pergi.
Lagi dan lagi Zidan melihat gadis di hadapannya menangis, ntah sudah berapa kali Erin menangis seharian ini. Tangan Zidan terulur, mengusap air mata gadis itu dengan ibu jarinya.
"Erin, sudah menjadi hukum alam bahwa semua yang hidup pasti bakalan pergi, garis waktunya sudah ditetapkan oleh Tuhan, semuanya sudah diatur dan kita tidak bisa menyalahi takdir. Kamu boleh nangis, tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan, pasti Ibu kamu nggak suka liat kamu terus terusan nangis kayak gini. Kamu nggak sendirian ada aku disini, Erin. Kalau kamu butuh apapun kamu bisa panggil aku." Zidan menggerakkan tangannya memberi isyarat, "kamu itu cewek kuat, jangan nangis lagi, oke?"
Erin menganggukkan kepalanya pelan, "Mau nggak mau aku harus ikhlas Jie, tapi semua itu butuh waktu," sahutnya sendu.
"Bahkan sebenernya kata ikhlas hanyalah sebatas ucapan. Kenyataannya kita dituntut untuk terpaksa mengikhlaskan, hingga lambat laun akan menjadi terbiasa dan berakhir terlupakan."
Tok tok.
"Assalamualaikum," ucap seorang lelaki gagah dengan kemeja hitam yang berdiri di ambang pintu, matanya tampak memerah dan sembab namun lelaki itu tersenyum tipis.
"Waalaikumsalam."
"Papa?"
Lelaki itu berjalan menghampiri Erin dan langsung membawa putrinya ke dalam pelukannya.
Mendapat perlakuan tersebut Erin kembali meledakkan tangisnya, menumpahkan segala air matanya di dekapan sang Papa yang baru beberapa hari ia temui itu.
Dalam diam Zidan tersenyum tipis, setidaknya Erin tak merasa sendirian karena ternyata Papa nya masih disini.
Andrew, Papa Erin itu mengurai pelukannya dan mengusap air mata Erin dengan ibu jarinya. Ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis seolah berkata 'jangan menangis, masih ada papa disini'.
"Kamu pacarnya Erin?" tanya Andrew kepada Zidan yang sedari tadi hanya diam.
Zidan langsung mencium punggung tangan Adrian, "Iya Om, saya pacarnya Erin."
"Kamu bisa bahasa isyarat? Om mau ngomong sama Erin tapi Om tidak bisa bahasa isyarat."
"Bisa Om," sahut Zidan menganggukkan kepalanya sopan.
"Erin, Papa kamu mau ngomong sama kamu." Zidan menggerakkan tangannya memberi isyarat kepada Erin.
"Mau ngomong apa Pa?"
"Papa dan keluarga Papa akan pindah dan menetap ke Jakarta, kamu ikut Papa ya Erin. Papa mau nebus semua kesalahan Papa," ujar Andrew.
Zidan menggerakkan tangannya memberikan isyarat kepada Erin seperti yang diucapkan oleh Andrew.
Erin terdiam beberapa saat untuk berpikir, sebenarnya ia mau saja tinggal dengan sang Papa. Tapi masalahnya ia tak ingin meninggalkan rumah ini, rumah yang menjadi tempat ia dibesarkan dan dirawat oleh Lestari. Terlalu banyak lika liku yang ia dan Lestari lewati di rumah ini, rasanya sayang jika membiarkan rumah ini kosong begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022