Olin berjalan mondar mandir di diruang tamu dengan ponsel yang bertengger manis di telinganya. Sedari tadi tak henti hentinya ia menangis hingga sesenggukan dan sulit untuk bernapas.
"Papa angkat! Itu pasti bukan Papa kan."
Mungkin sudah puluhan kali Olin menghubungi Andrew namun yang didengar hanya suara operator bahwa nomor yang dituju tidak aktif. Gadis itu menggigit kukunya semakin gelisah apalagi berita tentang kecelakaan pesawat itu sudah ramai di televisi.
"Olin, kamu tenang dulu ini aku bawain--"
Prang!
Segelas susu coklat beserta nampannya jatuh berserakan dan membasahi lantai setelah tangan Olin dengan kasar menepisnya dari tangan Erin.
"GIMANA GUE BISA TENANG SEDANGKAN BOKAP GUE NGGAK ADA KABAR!" pekik Olin bersamaan dengan air mata yang lagi lagi membanjiri pipinya.
Erin menatap adik tirinya itu, rasanya tak tega melihat Olin yang terus menangis hinga matanya bengkak, ponsel ditangannya pun berkali kali tempelkan di telinga. Erin berjongkok mengambil serpihan gelas yang berceceran di lantai, ia mengusap air mata yang tiba tiba jatuh tanpa permisi, sebenarnya ia pun sama khawatirnya dengan Olin tapi ia berusaha tetap tenang dan menangkal pikiran pikiran negatif yang bersarang di otaknya.
"Olin, Mama mohon tenang sayang."
Maya memeluk tubuh Olin saat melihat putri semata wayangnya menjambak rambutnya sendiri. Penampilan wanita itu juga kacau, matanya bengkak dengan air mata yang belum berhenti mengalir.
"Olin tenangin diri kamu--"
"UDAH GUE BILANGIN KALO GUE NGGAK BISA TENANG!"
"OLIN!"
Olin langsung menoleh mendengar pekikan seseorang yang tak asing di telinganya.
"K-kak Can-dra."
Tanpa ba bi bu lagi, Candra yang berdiri di ambang pintu langsung bergegas menghampiri Olin dan membawanya ke dalam pelukan hangat lelaki itu. Tangis Olin semakin histeris kala Candra mengusap Surai pendeknya dengan lembut.
"Olin tenangin diri kamu."
"P-papa Kak."
"Papa kamu pasti baik baik aja. Kamu tenangin diri kamu ya."
Sementara Candra yang sedang menenangkan Olin. Kini Zidan dan Erin hanya saling pandang dengan jarak yang lumayan jauh, Zidan masih berada di posisinya yaitu di ambang pintu, ya Candra tak datang sendirian melainkan dengan Zidan.
"Olin itu menderita bipolar, makannya dia bener bener marah banget dan nggak bisa kontrol emosinya," jelas Zidan.
Erin menoleh, "Bipolar? Kok aku baru tau."
"Dulu pas di Bandung Olin itu anak broken home, Nyokap sama Bokapnya sering berantem dan berujung pisah. Dulu Olin juga agak dingin dan kasar, tapi setelah kenal Candra dia kembali ke sisi baiknya sebelum keluarganya hancur. Nggak lama setelah perceraian orang tuanya, Nyokap nya nikah sama Papa kamu yang sebenernya Olin nggak setuju tapi keduanya tetap melanjutkan pernikahan mereka, mungkin karena Papa kamu baik seiring berjalannya waktu Olin bisa nerima Papa kamu sampe bisa sayang banget kayak sekarang."
"Jadi, Olin bukan anak kandung Papa?"
Zidan menggelengkan kepalanya, "Bukan."
Setelah tadi keduanya hanya berkontak mata, kini mereka memutuskan untuk keluar rumah dan berakhir duduk di kursi taman yang ada di pojok halaman rumah Andrew.
Kini keduanya terdiam, lebih tepatnya Erin yang terkejut setelah mengetahui fakta baru bahwa Olin menderita bipolar dan dia bukan anak kandung Papa nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Pages
Teen Fiction"Mau sekeras apapun lo berusaha, lo nggak bakalan bisa. Karena lo Jidan, bukan Candra." ©arnnisa2022