Bagian 25

768 70 1
                                    

"Belajarnya udah belum, Jie?" tanya Satria yang sedari tadi sudah menguap berkali kali.

Bahkan kini matanya sudah setengah watt, sudah tak sanggup untuk terjaga lebih lama lagi. Namun, Zidan yang duduk manis di meja belajarnya itu masih terlihat bersemangat berkutat dengan buku bukunya.

"Kan udah dibilangin, mending Bang Sat tidur aja biasanya jam setengah sepuluh udah ngorok ini udah jam setengah sebelas masih aja dipaksain melek," sahut Zidan menoleh.

Satria menoleh ke arah jam beker yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya, ternyata memang benar jam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB pantas saja dirinya sudah tak kuasa menahan kantuk.

"Jam sebelas kamu harus udah tidur ya, jangan begadang nanti sakit kayak Candra waktu itu," ujarnya.

Zidan menganggukkan kepalanya, "Iya, setengah jam lagi Jidan tidur kok."

"Hoam ya udah Abang tidur dulu, jangan lupa matiin lampunya."

"Iya Bang, jangan lupa mimpiin Kak Nawang," kekeh Zidan.

Satria langsung menghadap tembok memunggungi Zidan, "Apaan sih, Jie!" cetusnya.

"Idih salting, beneran kebawa mimpi tuh," cibir Zidan.

Zidan kembali berkutat dengan kegiatannya, mencatat materi, mengerjakan soal dan kembali mempelajarinya satu persatu. Melelahkan memang, namun itulah yang namanya berjuang.

Awalnya memang terasa sulit karena belum terbiasa, mengorbankan waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan mengorbankan waktu tidurnya. Namun setelah lama ia menjadi terbiasa dan menjadi lebih bersemangat, semua itu ia lakukan demi keberhasilan, selagi masih ada kesempatan ia tak akan menyia nyiakan.

Usahanya kali ini bukan hanya untuk mendapatkan piano ataupun membuktikan kepada orang orang, tapi juga untuk kepuasan dirinya sendiri. Mungkin dulu Zidan tak pernah berfikir untuk menjadi orang yang berhasil, tapi sepertinya kata berhasil itu sudah berada di depan mata sekarang, bahkan hanya dengan melihat saja sudah membuat dirinya merasa bangga apalagi jika suatu saat ia bisa mencapainya, sudah pasti ia akan merasa puas dan bangga dengan dirinya sendiri.

Ah, membayangkan saja sudah membuatnya senyam senyum sendiri seperti ini, "Jadi nggak sabar liat nilai gue saat pengumuman kelulusan nanti," celetuknya.

Tak!

Zidan menggelengkan kepala dan memukul kepalanya dengan pensil pelan, "Belum juga ujian astaga."

"Udahlah mending nggak usah kebanyakan halu, ntar ketinggian jatuhnya makin sakit." Zidan memutuskan untuk kembali berkutat dengan soal soal di depannya.

Waktu terus berjalan hingga tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, dan Zidan masih belum beranjak dari tempat duduknya. Matanya dipaksa untuk tetap terjaga membaca ribuan huruf, otaknya dipaksa untuk berfikir demi menyelesaikan puluhan soal yang belum terselesaikan, sudah berkali kali ia mengacak rambutnya karena merasa frustasi dengan beberapa soal yang sulit dipahami.

Ceklek.

Pintu yang tiba tiba dibuka oleh seseorang langsung membuat Zidan terperanjat, bukan apa soalnya saat ini sudah pukul dua belas malam takutnya kan ada si anu.

Zidan mengusap dadanya lega setelah melihat Tara yang muncul dari balik pintu dengan mata lelahnya. Ah iya yakin pasti kakak sulungnya itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

"Masih belajar, Jie?" Tara berjalan menghampirinya, "Aa mau ambil minum pas liat kamar kamu masih ada sedikit cahaya lampu dan tenyata kamu emang belum tidur."

"Iya a, ini masih ngerjain beberapa soal dan belum selesai. Susah susah banget soalnya yang ini jadi agak lama," sahut Zidan yang masih berkutat dengan soal soal didepannya.

365 PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang