Sudut bibir Viera terangkat ketika mendengar suara handle pintu yang dibuka. Dengan cepat ia berlari menghampiri ibunya kemudian membantunya membawa tas dan meletakkan sepatu high heels tinggi itu di tempatnya. Sedikit kesulitan ia membawa tas kulit ibunya itu karena berat. Entah apa isinya hingga membuat tas ini terasa keras.
"Ibu mau ku buatkan telur orek? Ayah membeli banyak telur tadi." Ucap Viera dengan antusias.
"Diamlah." Jawab ibunya dengan malas.
Plakh..
"KAU TIDUR BERSAMA SIAPA LAGI HAH? PELACUR MURAHAN!, UANGMU MASIH KURANG BITCH!." Bentak Morgan.
"Berhenti memukulku brengsek, kau menggunakan uangku untuk membayar pelacur lain." Sentak Karin tak ingin kalah.
Suara tamparan terdengar keras bersamaan dengan suara mereka yang tengah beradu mulut. Morgan terus menjambak rambut istrinya sambil berteriak marah hingga wajahnya memerah. Sedangkan Karin terus berteriak memaki suaminya itu bahkan Meludahinya. Pertengkaran mereka tak ada habisnya.
Suara gaduh dan pecahan kaca terdengar. Hal itu membuat Viera menatap penasaran pada dua orang yang tengah baku hantam dan beradu mulut itu. Ia melihat cangkir kopi yang ia letakkan di meja dapur pecah karena Morgan melemparnya tepat di kening Karin. Karena tak ingin merepotkan ibunya, ia berjalan mendekat dan membersihkan serpihan cangkir itu dan membersihkan sisanya.
Karena terlalu dekat dengan mereka, tanpa sengaja pukulan Karin yang meleset mengenai Viera. Alhasil bekas tamparan ayahnya semakin berdenyut dengan tamparan ibunya. Ia jatuh duduk dan kembali berdiri mengepel lantai. Setelah itu ia mencuci tangannya yang mendapat luka goresan lain karena saat mengambil pecahan cangkir tadi, Morgan menginjak tangannya di atas pecahan itu.
Tanpa mempedulikan kedua orang tuanya, Viera berjalan meletakkan tas ibunya di kamar Karin lalu menaiki tangga kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ia sudah terbiasa seperti ini. Kedua orang tuanya sedari dulu memang tidak pernah akur dan harmonis. Mereka juga memperlakukan dirinya yang merupakan seorang anak angkat dengan buruk. Namun ia tak mempermasalahkannya karena sudah terbiasa. Bahkan ia sama sekali tak merasa sedih sedikitpun tentang keluarganya.
Dengan perlahan ia menutup pintu kamar dan kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Karena tak ada yang bisa ia lakukan, akhirnya ia membuka laci lemari di sampingnya. Ia mengambil tumpukan kertas itu dan membacanya kembali satu persatu.
Hampir semua kalimat di kertas itu sama. Menyuruhnya untuk tak terlalu memaksakan diri dan beristirahat.Ia menghela nafas panjang dan meletakkan kembali kertas-kertas itu ke dalam laci. Pikirannya berkelana kemana-mana memikirkan siapa yang selama ini meletakkan kertas itu di atas meja lacinya. Dan bagaimana bisa ia membuka jendela yang terkunci dari dalam?. Lagipula kamarnya berada di lantai dua. Pasti sulit bagi orang itu untuk memanjat dan mencoba masuk ke dalam kamarnya.
Ponsel yang berada di sampingnya bergetar pelan. Viera langsung mengecek ponselnya, membaca pesan dari teman sekelasnya. Salah satu teman di grup kelas mengingatkannya untuk tugas yang harus dikumpulkan besok. Beruntung Viera sudah mengerjakannya dan tak perlu khawatir atau terburu-buru mengerjakannya seperti kebanyakan orang di sekolah. Ia sengaja menyelesaikan semua tugas di sekolahnya sejak kemarin. Dengan begitu ia bisa tenang membantu ibu dan ayahnya di rumah.
Tinggal beberapa bulan lagi ia akan lulus. Ia tak ingin melanjutkan pendidikan dengan berkuliah karena tentu itu akan membuat kedua orang tuanya kerepotan. Target untuk melamar pekerjaan sudah ia tentukan. Mulai dari yang terdekat hingga yang paling jauh di kota ini. Ia ingin bekerja sebagai karyawan toko atau kafe. Namun yang paling ia minati adalah menjadi penjaga perpustakaan kota. Sangat tenang disana dan tentu ia menyukainya.
Beberapa hari yang lalu, Karin menawarkannya untuk bekerja bersamanya jika lulus nanti. Ibunya itu menyuruhnya untuk menjadi pelacur dan bermain bersama dengan para pria berkepala plontos dan berperut buncit. Tentu ia menolaknya, dan hal itu membuat Karin terus memarahinya habis-habisan. Viera tak mempedulikan ocehan ibunya. Ia terus membantah dengan tenang semua ucapan wanita itu.
Selain tubuhnya yang seperti anak kecil, tinggi badannya juga sangat pendek. Tak mungkin para pria hidung belang tertarik dengan tubuh kecilnya. Mungkin hanya seorang pedofil saja yang akan tertarik padanya. Dengan tubuh kecil tentu saja akan menyulitkan dirinya untuk mencari pekerjaan nanti. Ia yang baru lulus sekolah SMA akan dikira baru lulus SMP.
Tak hanya ibunya, beberapa kali Morgan menatapnya dengan tatapan aneh. Ayahnya itu selalu menawarkan pekerjaan dan sekaligus tempat tinggal. Sudah dipastikan Morgan ingin menjualnya. Namun, karena ia yang masih di butuhkan sebagai pengurus rumah di sini membuat pria paruh baya itu masih ragu untuk melepaskannya.
Alasan kedua orang tuanya begitu sangat biadab padanya itu karena dirinya bukan lah anak kandung. Ia adalah anak dari kakak Morgan yang tewas karena kecelakaan, dan tentu mau tak mau ia sebagai keluarga yang tersisa harus memungut bayi kakaknya. Lagipula Karin juga tak bisa memiliki seorang anak dari rahimnya sendiri. Dan tentu saja juga karena sedikit uang kakaknya yang sengaja disiapkan untuk bayinya di masa depan.
Viera kembali menatap langit-langit kamar. Ia mencoba untuk memejamkan mata, mengabaikan suara gaduh dari lantai bawah. Beruntung kamarnya berada di lantai dua dan kamar kedua orang tuanya itu berada di bawah. Jika tidak, maka ia tak akan bisa menutup matanya karena suara bising yang tak bisa diredam.
Rumah mereka sedikit jauh dari rumah tetangga sebelah. Itu sebabnya tetangga sebelah tidak pernah mendengar dan mengetahui apa yang terjadi di rumahnya. Jika tidak, maka kedua orang tuanya itu akan di tuntut karena mengganggu ketenangan tetangga sekitar. Dan juga telah menganiaya anaknya.
Viera melihat luka di pergelangan tangannya yang terkena kopi panas tadi. Masih memerah dan belum sampai melepuh. Beruntung kopi panas itu juga tak mengenai wajahnya. Jika itu terjadi maka ia tak akan bisa menutupi luka itu agar orang lain di sekolahnya tak mengetahuinya. Dengan luka hanya di jari-jari tangan dan pergelangan tangan, ia bisa menutupinya menggunakan sweater atau jaket.
Ia menyempatkan diri untuk melirik plester luka bergambar kucing di meja lacinya. Keningnya mengerut melihat plester luka yang bertumpukan di atas meja. Plester itu tak hanya ada dua seperti sebelumya. Melainkan sudah ada enam plester luka. Ia kembali melirik jendela kamarnya. Siapa yang telah memasuki kamarnya dengan cepat hingga baru ia tinggal beberapa menit saja sudah berhasil meletakkan plester luka lagi di mejanya?.
Tak ingin memakainya. Ia memasukkan plester luka itu ke dalam laci bersama kertas lainnya. Ia bukan tipikal orang yang terluka sedikit langsung menempelkan plester. Hal itu malah membuat luka goresan di jarinya tak kunjung mengering. Lebih baik ia obati dengan obat merah saja sudah cukup. Dan keesokan harinya sudah tak lagi sesakit sebelumnya. Hanya luka ringan tak perlu diperbesarkan. Ia yang terbiasa mendapatkan luka itu sudah menganggap luka itu sebagai angin lalu saja.
Krakkhh..
Suara patahan ranting terdengar dari jendelanya. Dengan gontai Viera berjalan menuju jendela memastikan asal suara itu. Mungkin saja suara itu tak sengaja dibuat oleh sang pelaku yang sudah berkali-kali memasuki kamarnya. Dalam hati ia sedikit tak menyukai perbuatan itu. Entah siapa itu dengan lancang memasuki kamarnya. Jika saja orang itu tak banyak membantunya maka sedari dulu ia sudah melaporkan hal ini pada polisi.
Matanya mengedar melihat halaman dan jalanan di samping rumah dari jendela kamarnya. Tak ada apapun. Terlihat ranting patah yang masih menggantung dari pohon di halamannya. Mungkin karena tupai atau burung.
"Kembali tidur Viera." Ucapnya pada diri sendiri sambil terkekeh geli.
Ia kembali berjalan dan merebahkan tubuhnya di kasur. Sengaja ia membiarkan jendelanya terbuka lebar karena udara di dalam kamar yang sedikit panas. Ia juga menyibak gorden dan menjepitnya agar tak menghalangi angin untuk masuk.
Belum sempat ia menutup mata, jam sudah menunjukkan sore hari. Tak mungkin ia akan tidur di jam segini. Waktunya untuk membersihkan diri dan menyiapkan makanan. Tapi nanti, setelah suara gaduh di bawah tak terdengar lagi. Ia tak ingin perdebatan kedua orang tuanya itu terganggu karena dirinya yang mondar-mandir di dapur untuk memasak.
Menunggu suara di bawah mereda, ia berjalan menuju meja belajarnya dan membuka buku. Sambil terus tersenyum ia menulis sesuatu di sana. Selama ini ia menghabiskan waktu luangnya dengan menulis cerita karangan di buku tulis. Tak ada maksud lain menulis imajinasinya itu. Ia menulis hanya untuk mengisi waktunya saja sambil menunggu seperti biasanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝑺𝔱𝒂𝒚 𝒘𝔦𝔱𝔥 𝒎𝔢.
غموض / إثارةMemiliki seseorang yang selalu bersama mu tanpa mengetahui bentuk dan rupanya memang sedikit aneh. Hanya keberadaannya saja yang di rasakan namun tidak dengan wujudnya. Aku hanya seorang gadis remaja dengan sosok rahasia yang selalu mengikuti dan m...