Bab 07.

527 40 1
                                    

Langit mulai menggelap. Samar-samar indra pendengaran Viera mendengar suara kendaraan yang berlalu lalang. Tak sepi seperti tadi, jalanan ini mulai ramai. Beruntung sewaktu di dalam mobil ia terus memperhatikan jalanan yang dilewati sebelumnya. Dengan begitu ia tak akan lupa dan tak tahu kembali pulang melewati jalan yang mana.

Mengingat ia pulang sangat terlambat, ia tahu mungkin saja saat ini kedua orang tuanya akan khawatir. Langkah kakinya di percepat menyusuri jalanan. Di perjalanan yang lumayan jauh, rasa ngilu dan mati rasa mulai terasa di kedua kakinya. Namun itu tak membuatnya berniat untuk beristirahat. Langit sudah gelap dan tentu ia tak akan berlama-lama dengan beristirahat di halte bus.

Mengingat tadi, mungkin setelah ia kabur, ada pengendara lain yang sudah menemukan mobil yang terguling itu. Tak mungkin jalanan yang sepi itu tak ada yang melewatinya. Jalanan itu melewati bibir hutan dan ia tak tahu jika terus melewatinya akan sampai di mana. Mengingat ia hanya anak rumahan dan tak pernah pergi jauh. Mungkin tempat yang ia kunjungi selama hidupnya ini hanya supermarket, toko kecil, rumah teman, dan sekolah.

Selain itu tak ada tempat lain yang ia kunjungi. Mungkin setelah lulus sekolah nanti ia akan berkunjung di beberapa tempat. Seperti tempat kerja dan lainnya. Dan tentu lebih banyak berbaur dengan orang-orang. Memikirkan itu membuat jantungnya semakin berdebar. Entah mengapa ia merasa senang akan hal itu.

Sangat menyenangkan bekerja di luar dan menghabiskan waktunya dengan kesibukan sendiri. Tak seperti di rumah yang hanya mengerjakan pekerjaan rumah saja. Ia ingin pengalaman baru dengan bekerja di luar sana. Bekerja seperti orang normal kebanyakan dan mendapatkan uang sendiri tanpa perlu khawatir kelaparan seperti biasanya. Ia bisa memakai uang gajinya untuk membeli makanan enak untuk di makan di rumah.

Ingatan tentang ibu dan ayahnya yang begitu antusias dan lahap memakan pasta kemarin membuatnya bertekad kedepannya ia akan sering membuatkan spaghetti untuk mereka. Dan tentu tak hanya spaghetti saja. Masih banyak yang bisa ia masak setiap hari menggunakan bahan bahan pangan yang memenuhi lemari penyimpanan dan lemari pendingin.

Merasakan cairan berbau anyir meluruh di sisi wajahnya, ia langsung mengejarnya menggunakan lengan jaketnya dengan cepat. Luka di keningnya akibat terbentur ujung meja kemarin bertambah parah karena kecelakaan tadi. Terpaksa ia melepas plester luka yang sudah sepenuhnya berwarna merah dan membuangnya.

Dengan tetap menundukkan kepala dan menutupi wajahnya dengan tudung jaket, ia berusaha menyembunyikan wajahnya. Tak ingin menoleh kesana-kemari agar orang sekitar tak menatapnya curiga karena luka di keningnya.

Sambil memegangi lengannya yang terluka ia berjalan sedikit pincang merasakan pening di kepalanya. Pandangannya mulai tak fokus. Matanya mengerjap beberapa kali guna menghilangkan kabut hitam yang sempat memenuhi pandangan mata. Beruntung itu hanya sebentar saja. Jika tidak maka sudah dipastikan ia akan pingsan di pinggir jalan saat ini.

Pengelihatan buram samar-samar masih terasa. Ia mempercepat langkah kakinya memasuki rumah. Tanpa mengetuk pintu dan berteriak riang seperti biasanya, ia langsung masuk begitu saja. Terlihat Morgan yang tengah duduk santai di sofa bersama Karin yang sedang tertawa kesenangan di samping Morgan.

Hati Viera langsung menghangat melihatnya. Jarang sekali kedua orang tuanya terlihat begitu akur bahkan sampai tertawa bersama. Namun itu hanya sesaat saja. Menyadari kedatangan Viera mereka langsung terpaku dan diam beberapa saat. Ekspresi wajah Karin langsung berubah heran dan panik melihat gadis berjaket merah di hadapannya.

"Maaf aku pulang terlambat." Lirih Viera sembari membuka tudung jaketnya.

Senyum tipis merekah di wajahnya mengingat Karin dan Morgan tadi sempat tertawa bersama dan berbincang ria. Apa mungkin kedua orang tuanya itu sudah baikan?. Tak biasanya tiba-tiba saja mereka menjadi seperti ini dengan begitu cepat. Baru saja semalam mereka bertengkar hebat seperti biasa dan paginya mereka kembali berdebat kecil.

"Apa yang kau lakukan di sini?." Pertanyaan itu membuat Viera menatap Karin dengan bingung.

"Pulang." Jawab Viera bingung lalu mengelap darah yang hampir mengering di sisi wajahnya.

"Dimana Roger? Kau seharusnya bersamanya bodoh!." Sahut Karin dengan napas yang semakin memburu.

"Paman tadi? Sudah mati di dalam mobil. Tadi kami mengalami kecelakaan. Aku berhasil kabur." Jelas Viera lalu jatuh duduk di lantai tak kuasa menahan rasa pening di kepalanya.

"Pria itu mati?." Tanya Morgan sedikit tak percaya.

Sempat Morgan mendengar berita di televisi bahwa ada mobil yang sudah mengenaskan di jalanan pinggir hutan menuju kota. Dan pengendara yang tewas di tempat karena pendarahan. Kemungkinan besar mobil dan pengendara itu adalah Roger.

Seketika itu wajah panik Karin berubah. Satu sudut bibirnya terangkat menatap Morgan yang juga menatapnya balik. Kemudian secara bersamaan mereka menatap Viera yang tengah menatap mereka dengan tatapan bingung.

"Pria bajingan itu sudah membayar kita tadi pagi. Sial juga nasibnya, barang yang di beli kembali ke penjual." Sinis Karin lalu terkekeh geli.

"Beruntung sekali." Gumam Morgan lalu menegak minuman beralkohol dengan kualitas lebih baik yang baru saja ia beli tadi.

Viera hanya diam menatap Karin dengan tatapan yang sulit diartikan. Sekali lagi kedua orang itu kembali ingin menjualnya. Namun kali ini ia berhasil terjual. Beruntung pria paruh baya tadi merenggang nyawa. Dengan begitu ia bisa kembali pulang.

Karin menatap lekat luka di kening Viera. Wanita itu kembali tersenyum sinis menatap gadis di depannya yang masih terduduk di lantai. Ia berjalan mendekat ke arah Viera dan berjongkok di depannya. Dengan puas ia melempar beberapa lembar kertas tepat di wajah Viera. Sontak Viera menatap uang di depannya dengan tatapan bingung.

"Kerja bagus, ini gajimu." Celetuk Karin lalu melenggang pergi bersama Morgan.

Viera termangu di tempat. Matanya terus menatapi uang di depannya. Lima lembar itu sudah sangat banyak baginya. Memangnya ia di jual dengan harga berapa tadi hingga dengan enteng Karin melemparkan uang itu tepat di wajahnya. Biasanya wanita itu tak akan memberikan uang sepersen pun dan tentu wanita itu tak memiliki uang sebanyak ini.

"Astaga, terimakasih bu!." Pekik Viera lalu mengambil uangnya.

Anggap saja ia bodoh karena tak mempermasalahkan kejadian tadi. Tentu hal itu sudah biasa baginya. Lagipula ini bukan yang pertama kalinya ia dijual. Dulu ia hampir di paksa menjadi budak namun karena dirinya yang masih begitu sangat kecil, ia hanya di bayar untuk menjadi pembantu dan bahan pelampiasan saja selama beberapa bulan.

Setelah itu ia akan di bayar dan di kembalikan pulang. Beruntung waktu itu ia masih di bawah umur. Karena itu ia tak bisa begitu saja di lecehkan mengingat tubuhnya saja yang sampai saat ini masih begitu tak menarik dan kecil tentu tak ada yang minat menatapnya sekilas. Dalam hati ia sedikit bersyukur karena memiliki tubuh seperti ini. Tak buruk juga jika tak ada yang minat dengan tubuhnya.

"Kalian mau makan apa?, Aku bisa memasak makanan enak hari ini." Lanjutnya berteriak.

Dengan cepat ia berlari memasuki dapur melupakan rasa sakit di tubuhnya. Ia mencuci kedua tangan dan wajahnya sebelum membuka lemari pendingin. Sontak kedua matanya membulat sempurna melihat isi lemari pendingin di depannya. Penuh, tak hanya sayur dan buah, ada daging dan paha ayam pula. Beberapa botol minuman baru juga memenuhi bagian bawah.

Tak puas melihat seisi lemari pendingin, ia membuka lemari penyimpanan yang selalu kosong. Kali ini kardus spaghetti berjejer rapi di dalam bersama makanan instan lainnya. Senyum di bibirnya langsung melebar melihat pemandangan yang memuaskan di depan matanya. Rasanya ia ingin melompat kegirangan.

Dengan cekatan ia memasak spaghetti. Ia akan kembali membuat spaghetti itu karena kemarin ia tak sempat memakannya. Sedikit tangan kanannya bergetar ia menuang mie itu di piring. Setelah itu ia membawa dua piring itu ke dalam kamar kedua orang tuanya dengan tak sabar.

"Besok pagi, masak juga dagingnya." Ucap Morgan membuat Viera mengangguk semangat.

Sudah lama sekali Morgan tak berinisiatif berbicara dengan santai. Biasanya pria itu hanya berbicara sinis dan menyindirnya saja. Sama halnya dengan Karin. Wanita itu tak henti-hentinya tersenyum sembari memegang botol di tangannya.

Masih dengan senyum di bibirnya, Viera kembali memasuki dapur dan meletakkan piring spaghettinya bersama susu coklat hangat di meja. Dengan tenang ia memakannya menikmati setiap suap dan rasa yang menjamah lidahnya. Akhirnya ia bisa memakan spaghetti yang sedari kemarin masih terbayang di pikirannya.

𝑺𝔱𝒂𝒚 𝒘𝔦𝔱𝔥 𝒎𝔢.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang