Bab 33.

110 11 4
                                    

Kabut tipis menguar, menghantarkan hawa dingin yang sejuk. Suara gemuruh di iringi gemericik air menjadi alunan alam yang menenangkan. Rintik-rintik air hujan semakin bersusulan, jatuh menimpa permukaan dengan deras dan menciptakan suara gemeletuk di atap. Hanya beberapa kali saja kilatan petir menembus awan di langit.

Viera menghirup udara dalam-dalam, mengisi pasokan udara segar yang bercampur aroma tanah basah. Kedua matanya terpejam menikmati suara derasnya air hujan, sesekali di sertai gemuruh. Kedua sudut bibirnya terangkat ketika merasakan percikan air hujan mengenai wajahnya.

Di rasa cukup menikmati momen berteduhnya, ia membuka kedua matanya kembali. Kemudian menatap pria di sampingnya yang tengah duduk diam menatap langit. Beringsut mendekat, ingin melihat wajah pria di sampingnya itu lebih jelas. Kemudian setelah itu, matanya menelusuri sisi wajah Davis. Memperhatikan gerakan netra pria itu, tingginya hidung, bibir tebal dan rahang yang indah.

"Hujan ini tidak akan redah," ucap Viera mengalihkan perhatian Davis.

Jika Viera mengatakannya, maka itu benar terjadi karena gadis itu yang memutuskan apa saja yang terjadi di dunia kecil ini. Davis menatap lekat kedua netra gadis di sebelahnya. Mengira bahwa Viera tak ingin kembali ke apartemen dan bermalam dengan berteduh di sini. Entah apa tujuan Viera, hingga membuat hujan ini tak akan redah.

"Menyenangkan bukan?" tanya Viera tersenyum simpul.

Tak memungkiri betapa bahagia dirinya bisa melakukan apapun sesukanya. Salah satunya mengubah cuaca sesuai keinginannya. Menentukan kapan dan berhentinya cuaca. Seperti kali ini, ia ingin hujan ini terus berlanjut, hingga semalaman.

Sejenak, ia memikirkan buku diary miliknya. Cerita karangan yang ia buat sudah tak lagi berlaku. Ia tak perlu bergantung pada buku itu dan merasa khawatir karena takut semua akan berakhir menggantung seperti cerita yang belum selesai. Mulai saat ini, ia tak lagi bergantung pada kebahagiaan yang ia tulis pada buku diary, melainkan apa yang tertulis di dalam buku diary itu bergantung padanya.

Tak ingin merusak suasana hatinya, ia menempis jauh-jauh pemikirannya mengenai buku bersampul merah itu. Untuk saat ini, biarkan ia menganggap semua ini adalah masa kejayaannya pada kebahagiaan. Melupakan bahwa semua ini hanya bunga tidur yang ia ciptakan selama koma.

Karena merasa sia-sia mereka berteduh dengan pakaian yang sudah basah kuyup, Viera memutuskan untuk menerobos hujan. Lagi pula, sensasi menyegarkan dari hujan akan semakin terasa jika langsung membiarkan rintikan deras air hujan itu langsung mengenai puncak kepala.

Bangkit dari duduknya, kedua tangan Viera di angkat tinggi-tinggi guna meregangkan otot punggung dan pinggang yang kaku karena terlalu lama di posisi duduknya di barengi helaan napas panjang dan erangan lirih. Kemudian berdiri tepat di hadapan Davis yang masih duduk memperhatikannya.

"Kita kembali sekarang," ucap Viera sembari mengulurkan tangannya.

Tangan kanan gadis itu menggantung di udara, menunggu tangan lebar milik pria di hadapannya menggapai dan menggenggamnya. Alih-alih menerima uluran itu, Davis beralih menatap langit yang masih beberapa kali menyuarakan gemuruhnya. Merasa ragu dengan hujan yang masih deras dan mengira Viera berubah pikiran dengan meredahkan hujan karena hawa yang semakin dingin.

"Yakin?" tanya Davis dengan ragu.

"Yah," jawab Viera dengan yakin.

"Hujan masih deras. Kau akan kedinginan," ucap Davis dengan khawatir.

"Kita pulang!" seru Viera.

Tangan yang menggantung di udara itu beralih meraih tangan pria di hadapannya, lalu menggenggamnya erat. Kemudian, ia menariknya kuat-kuat, hingga Davis bangkit dari duduknya. Menghela napas, senyum simpul terukir di bibir Davis. Kedua netranya menatap lekat sepasang mata yang menyipit menatapnya balik.

𝑺𝔱𝒂𝒚 𝒘𝔦𝔱𝔥 𝒎𝔢.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang