Bab 19.

362 36 0
                                    

Melangkah masuk, melewati pintu utama gedung apartemen. Dengan langkah ragu, Viera berjalan mengekori Davis. Menatap lurus, melihat pintu lift yang baru saja terbuka. Matanya yang tadinya terbiasa dengan pencahayaan di mobil yang sedikit, membuat kelopak matanya berkedip beberapa kali ketika pencahayaan di sini terlalu terang.

Menurutnya, lampu di sini terlalu banyak dan lebih terang daripada lampu di rumahnya. Mungkin karena ini adalah sebuah gedung apartemen yang mewah. Tak  sebanding dengan rumahnya yang biasa-biasa saja. Tak heran kedua orang tuanya melarangnya untuk tak boleh melarikan diri. Davis sudah membuat mereka tunduk dengan sekoper uang. Bahkan juga membuat mereka rela berpura-pura dan membuatnya bahagia selama beberapa bulan terakhir.

Setelah memasuki lift, pintu lift tertutup. Tanpa sadar Viera menggigit bibir bawahnya ketika melihat Davis menekan tombol angka paling atas. Lantai yang akan mereka tuju berada di lantai paling atas. Membayangkan ketika lift ini rusak dan mereka harus melalui tangga, sudah membuat kakinya linu duluan. Dengan cepat ia sedikit menggelengkan kepala, menempis bayangan-bayangan buruk itu.

Tanpa ia sadari, Davis memperhatikannya dari kaca lift. Pria dengan tatapan datar itu tak berpaling sedetik pun. Ia terus memperhatikan ekspresi wajah Viera. Terlihat gadis itu terus menggigit bibir bawahnya. Entah itu untuk menggodanya atau karena tak nyaman. Ia tahu Viera sedari tadi menahan rasa kering di tenggorokannya. Jam juga sudah menunjukkan tepat tengah malam. Dan karena itu, secepatnya ia membawa gadisnya ke apartemen. Agar bisa langsung beristirahat.

Masih di tengah kebisuannya, Viera kembali melangkahkan kakinya. Kali ini ia tak berjalan di balik punggung Davis, tetapi di sampingnya. Tentu karena Davis yang kembali menggandeng tangannya dan menariknya hingga berjalan bersebelahan. Memang sedikit kasar Davis menariknya. Tetapi ia menggunakan ibu jarinya untuk mengelus kulit lembut itu agar gadis di sampingnya tidak merasa kesakitan.

Brukkhhh...

Davis tersentak ketika sebuah bantal mendarat tepat di wajahnya. Sejenak ia terdiam sambil menatap bantal yang sudah tergeletak di lantai. Tatapan datar di wajahnya semakin kentara, menandakan bahwa dirinya sedang tak terlihat baik-baik saja. Marah, sangat terlihat jelas. Tetapi saat ini ia tak ingin memberi kesan buruk pada gadisnya di hari pertama kali memasuki apartemennya.

"Hahahahh..lihatlah wajah kusut itu." Tawa seorang pria yang baru saja muncul dari balik sofa.

"Eh?." Terkejutnya begitu menyadari keberadaan gadis di samping Davis.

Merasa tak asing dengan suara itu, sedikit Viera mendongak, melihat siapa pemilik suara tersebut. Tatapan polos yang sedari tadi sirna, berganti dengan tatapan datar, sama seperti Davis. Kebiasaan buruk pria itu memang selalu membuat siapa saja kesal. Apalagi mengejutkan seseorang dengan melempar bantal tepat di wajah. Jika saja yang mengganggunya adalah orang lain. Mungkin, sudah di pastikan akan langsung tewas di tempat.

"Kenapa kau disini?." Tanya pria itu dengan tatapan terkejut.

"Ini apartemenku." Dengus Davis.

"Bukan kau, tapi dia." Sahut pria itu dengan kesal.

"Kali ini kau berhasil masuk lagi, Albert." Sinis Davis lalu menarik Viera untuk duduk di sofa.

Pria yang ternyata Albert itu mengabaikan ucapan sinis dari Davis. Ia menatap Viera, menunggu untuk menjawab pertanyaannya. Sangat terkejut dan tak menyangka gadis yang merupakan teman kerjanya itu tiba-tiba saja bersama Davis ke apartemen. Ia butuh jawaban untuk menjelaskan semua. Khawatir bahwa gadis yang di maksud Davis adalah Viera.

"Aku juga tidak tahu." Jawab Viera sambil tersenyum kaku.

"Oh kalian saling mengenal?." Tanya Davis dengan tanpa minat.

𝑺𝔱𝒂𝒚 𝒘𝔦𝔱𝔥 𝒎𝔢.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang