Bab 03.

716 59 1
                                    

Angin berhembus lembut menerpa leher Viera. Ia meraih tas ranselnya kemudian berjalan menuruni tangga. Sedikit cepat ia melahap omelet yang ia buat tadi sambil menyeduh kopi. Setelah itu ia memberikan kopi panas itu pada Morgan yang tengah menonton televisi sambil memainkan ponselnya.

"Ayah tidak kerja?." Tanya Viera kemudian mengambil cangkir teh hangat di meja dapur.

Morgan tak mendengarnya. Ia sibuk memainkan ponselnya sambil menyesap kopi. Viera membawa dua plaster luka kemarin dan berjalan masuk ke dalam kamar ibunya. Di dalam, ia melihat Karin masih tertidur pulas dengan luka di keningnya yang sudah di bersihkan. Wanita paruh baya itu sama sekali tak terganggu ketika Viera membuka pintu lalu meletakkan cangkir teh dan plester luka di meja samping tempat tidur.

Ia menatap wajah ibunya lama menatapi luka di keningnya. Sudut bibirnya terangkat begitu melihat kelopak mata itu bergerak. Ia langsung duduk di samping Karin yang masih berbaring. Sedikit kuat ia memijat lengan Karin lalu memeluknya. Karena tak nyaman, Karin mendorong Viera.

"Ibu lapar? Aku buat omelet dan nasi goreng  tadi." Ucap Viera lalu berdiri.

"Ayah belum memakannya, ia sibuk dengan ponselnya." Lanjutnya sambil merapikan seprai kasur ketika Karin bangkit dan berjalan memasuki kamar mandi.

Tangannya menepuk pelan bantal dan guling untuk membuatnya tetap mengembang. Setelah itu ia melimpat pakaian yang menumpuk di keranjang pakaian sudut kamar. Matanya tak sengaja melihat pakaian kotor tergeletak di depan kamar mandi. Dengan cepat ia mengambilnya lalu berjalan keluar untuk meletakkan pakaian kotor itu di dekat mesin cuci untuk di cuci besok.

Karena merasa sudah lama ia menyibukkan diri, kedua matanya melirik jam yang menggantung di dinding. Ia menghela nafas panjang. Waktunya untuk berangkat ke sekolah. Ia tak ingin terlambat lagi seperti hari sebelumnya karena Karin yang menyuruhnya untuk memasak terlebih dahulu sebelum pergi ke sekolah. Waktu itu ibunya sedang mabuk, itu sebabnya ia sedikit kesulitan meladeni ibunya.

"Ayah, ibu aku berangkat." Teriaknya kemudian berlari keluar rumah dengan memakai sepatu yang baru saja kering kemarin sore.

Tak butuh kendaraan umum untuk sampai ke sekolah. Jarak sekolahnya itu sedikit jauh, dan ia tak punya sepersen pun uang untuk membayar bus. Cukup berjalan santai saja, lagipula jam masuk masih lama. Sengaja ia bersiap-siap lebih awal daripada sebelumnya untuk berjaga-jaga jika saja kedua orang tuanya menyulitkannya. Dan dengan waktu yang tersisa ia bisa datang lebih awal ke sekolah.

Seperti biasa, tak ingin berjalan jauh ia memilih untuk melewati gang sempit. Sedikit memotong jarak ke sekolahnya. Sambil bersenandung pelan pandangan matanya mengedar melihat gang sempit yang sedikit orang berlalu lalang melewatinya. Gang ini tak sepi seperti gang sebelahnya, lebih banyak yang melewatinya juga kerena di buat sebagai jalan pintas oleh orang-orang sekitar.

Tak jauh di depan sana, ia melihat seorang gadis dengan tas hijau tua berjalan pelan sambil membaca buku novel. Senyum di bibir Viera semakin merekah ketika mengenal tas itu. Langkah kakinya ia percepat dan berlari hingga tubuhnya menabrak punggung gadis tadi dan membuat gadis itu tersentak. Dengan cengiran khas miliknya ia mengambil buku yang terjatuh.

"Kebiasaan, selalu mengagetkan." Gerutu gadis itu lalu menyahut buku dari tangan Viera.

"Kau tahu aku sangat merindukanmu, Mina." Jawab Viera lalu kembali berjalan menyusul Temannya itu.

"Kenapa tanganmu itu?." Tanya Mina sambil melirik melihat tangan Viera.

Viera mengangkat tangannya dan menatapi luka di jari-jarinya. Luka-luka itu semakin terlihat jelas jika terpapar sinar matahari. Ia baru menyadari ternyata luka di tangannya itu tak sedikit. Seingatnya, kemarin hanya empat goresan kecil saja. Namun sekarang lebih dari itu.

𝑺𝔱𝒂𝒚 𝒘𝔦𝔱𝔥 𝒎𝔢.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang