Bab 20.

357 39 1
                                    

Langit setengah gelap. Matahari masih belum mengintip di ujung sana. Di pagi yang masih buta, awan gelap terlihat berkumpul di ujung langit. Udara sejuk selepas hujan yang sempat turun semalam, membuat hawa semakin terasa dingin di barengi dengan samar-samar kabut tipis.

Merasakan dingin yang menusuk pori-pori, membuat gadis yang masih meringkuk di balik selimut bergerak mencari kehangatan. Semakin di eratkan selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Kembali ia bergerak mengganti posisi dengan berbalik ke samping. Kemudian memeluk suatu benda yang menurutnya hangat dengan nyaman.

Nyaman dengan posisinya, semakin ia mengeratkan pelukannya. Lama ia bergelut dengan rasa nyaman dan hangat, sebuah tangan kekar bergerak memeluk pinggang rampingnya. Kemudian menarik dirinya agar semakin tenggelam dalam kehangatan. Hal itu membuat gadis yang meringkuk semakin menempel padanya.

Selang beberapa menit, akhirnya kesadaran mulai mengambil alih. Matanya mengerjap beberapa kali hingga pandangannya jelas. Dengan mata sayup ia melihat sebuah tangan kekar yang sedang memeluknya. Seketika itu matanya membulat sempurna. Sontak ia mendongak, melihat wajah rupawan pria yang tengah memeluknya erat.

Dalam hati ia memaki kebodohannya. Mengira sesuatu yang di peluknya adalah sebuah guling, namun salah. Dengan nyaman dan tanpa sadar ia memeluk pria itu dan menempelkan wajahnya pada dada bidang yang terhalang kaos tipis berwarna putih. Bahkan detak jantung pria itu terdengar bersusulan di telinganya.

Beringsut mundur menjauhi pria yang masih memeluknya. Bukannya terlepas, pinggangnya kembali di tarik dan kembali menempel pada dada bidang itu. Karena jengah, ia mengulurkan tangannya, mencubit lengan pria itu dengan pelan guna membangunkannya. Cubitan pelan itu semakin menguat begitu tak mendapati respon.

Semakin keras cubitan di pipi, ia juga mengguncang lengan kekar yang masih melilitnya. Usahanya berhasil membuahkan hasil begitu kedua mata itu perlahan terbuka. Tatapan mata itu langsung jatuh padanya. Kedua sudut bibirnya terangkat begitu mendapati gadis di rengkuhannya sedang menatapnya kesal.

"Lepaskan, kenapa kita tidur bersama seperti ini?." Protes Viera.

"Kau baru saja tertidur beberapa jam yang lalu. Kembali tutup matamu itu!." Jawab Davis.

Alih-alih bangun dan melakukan rutinitas pagi. Sebaliknya, Davis menyuruhnya untuk kembali menutup mata. Memang benar jika ia baru saja tertidur bersama di sofa beberapa jam lalu. Dan sekarang, rasa kantuk masih memberatkan kelopak mata. Tetapi, ia harus bersiap. Di jam segini, sudah sangat terlambat baginya untuk bersiap untuk berangkat bekerja. Apalagi saat ini jarak tempuh ke tempatnya bekerja semakin jauh.

Tak ada waktu dan tak bisa lagi ia berangkat bekerja dengan berjalan kaki. Jika pun menaiki bus, tetap saja ia akan terlambat. Matanya melirik jendela pintu balkon. Dari celah gorden, langit masih gelap. Samar-samar sinar matahari menyorot di ujung. Menghembuskan nafas gusar. Tak ada lagi waktu yang tersisa untuknya.

"Jangan membebani otak kecilmu dengan pekerjaan. Sejak awal kau tak ku perbolehkan untuk bekerja." Ucap Davis dengan suara khas miliknya.

Gendang telinga Viera tergelitik dengan suara maskulin dan serak itu. Ia kembali menyadarkan diri dengan mengerjapkan matanya dua kali sembari menggelengkan kepalanya. Belum genap satu bulan lamanya ia bekerja. Dan sekarang ia harus berhenti bekerja begitu saja hanya kerena tak di perbolehkan oleh pria di sampingnya ini. Mau makan apa ia jika tak memiliki uang sepeser pun?.

"Tapi ak-." Protes Viera terhenti.

"Jangan membantah. Ingat!, Kau milikku dan jangan membantah." Bisik Davis menekan setiap kata ucapannya.

Viera terdiam sesaat. Ingatannya tentang semalam kembali melintas. Sekarang, sepenuhnya dirinya adalah milik Davis. Mengingat pria itu sudah membelinya dengan harga yang mahal. Selain itu, pria itu sudah banyak membantunya. Tak mungkin dengan tidak tahu diri ia membantah dan memberontak setelah semua yang diberikan padanya.

𝑺𝔱𝒂𝒚 𝒘𝔦𝔱𝔥 𝒎𝔢.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang