Bab 15.

351 31 3
                                    

Semilir angin berhembus lembut menerpa dedaunan kering di bibir jalan. Hawa dingin dan aroma khas tanah basah menyeruak masuk ke dalam indra penciuman dan terasa menyegarkan. Langit yang sudah sepenuhnya gelap di temani gumpalan awan pekat, menandakan tak lama lagi akan turun hujan.

Di perjalanan pulang, Viera dengan santai berjalan melewati gang sempit. Hari ini ia  pulang terlambat karena harus mengurus barang-barang yang baru datang dan membuatnya lembur. Niatnya untuk segera pulang di sore hari pun sirna. Namun, tak sedikit pun ia merasa kecewa. Memang jika bekerja, mau tak mau ia harus menanggung segala resiko dan kesulitannya.

Tentu ketika bekerja, tak selalu berjalan mulus tanpa masalah. Beberapa hari lalu, sempat ia memergoki seorang tunawisma tengah mencuri roti dan memasukkannya ke dalam jaketnya. Dengan tak tega ia menegur pria paruh baya itu. Ia tahu rasa lapar dan tak mampulah yang membuatnya melakukan tindakan itu.

Viera memakluminya, ia sendiri dulu juga sering mengalaminya. Rasa lapar yang luar biasa mencabik-cabik perutnya memang terkadang tak bisa di tahan. Ia bahkan meminum banyak air hanya untuk membuat rasa lapar dan sakit itu berkurang.

Mengingat tentang beberapa bulan lalu, mungkin saat ini ia akan jatuh sakit parah karena kelaparan jika tidak ada yang membantunya. Siapa lagi kalau bukan si penguntit. Saat ia lapar, saat ia terluka, saat ia tak bersemangat, penguntit itu selalu ada untuknya. Kini keberadaan pria itu benar-benar tak terasa lagi. Sedikit berharap ia bisa bertemu kembali dengannya. Entah untuk balas budi atau menjalin hubungan pertemanan.

"Eh?." Pekiknya heran.

Langkah kaki Viera terhenti ketika merasakan rasa mengganjal pada telapak kakinya. Sontak ia menunduk dan melihat alas sepatu yang sudah tertancap paku kecil. Kali ini ia tak terkejut atau tersentak jatuh. Dengan cepat ia mencabut paku berkarat itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Beruntung paku itu tak menembus sepatunya, juga tak membuat kakinya terluka.

Tanpa sadar ia menoleh ke segala arah, mencari keberadaan sosok yang selalu membayangi pikirannya. Hanya pria paruh baya dengan setelan jas dan membawa koper saja yang lewat bersamanya. Terlihat jelas pria paruh baya itu juga sama sepertinya, baru pulang bekerja. Ekspresi wajahnya berubah murung karena tak mendapati sosok yang di carinya.

"Apasih?, Fokus Viera, jangan banyak pikiran." Gerutunya pada diri sendiri.

Kembali ia berjalan dengan cepat ketika rintik-rintik air hujan mulai mengenai puncak kepalanya. Pria paruh baya yang berjalan di belakangnya berlari terbirit-birit melewatinya. Rintik-rintik hujan perlahan semakin deras. Tak ingin pakaiannya basah dan membuat ibunya mengomel, Viera juga ikut berlari. Namun terlambat sudah, guyuran air hujan akan membuatnya basah kuyup jika terus mengenainya.

Terpaksa ia memutuskan untuk berteduh di sebuah toko tutup yang berada di ujung gang. Sambil menggosok kedua tangannya untuk membuat kehangatan, ia duduk di kursi panjang, menatap awan mendung di langit yang semakin berkumpul. Bisa di perkirakan hujan ini akan sedikit lama. Mungkin ia akan sedikit bersabar menunggu sampai hujan mereda.

Menghela nafas panjang, manik matanya mengedar melihat sekitarnya. Ini pertama kalinya ia berteduh saat hujan turun. Sedari dulu, biasanya ia akan menerobos membelah hujan tanpa mempedulikan pakaiannya yang basah. Selain sangat menyegarkan, mungkin karena tak ada yang peduli dengan dirinya yang basah kuyup. Berbeda dengan sekarang. Sekarang, sudah di pastikan ia akan mendapatkan omelan dan ceramah dari kedua orang tuanya.

Getaran dari dalam tas selempangnya membuatnya teralih. Buru-buru ia menggeledah isi tasnya dan mengangkat panggilan di ponselnya. Dengan cepat ia menempelkan ponselnya pada sisi wajah. Sambil menatap langit, ia mendengarkan suara ponselnya.

"Ah, tidak. Hari ini aku pulang terlambat." Jawabnya.

"Iyah, masih berteduh. Baiklah." Lanjutnya lalu menutup sambungan.

𝑺𝔱𝒂𝒚 𝒘𝔦𝔱𝔥 𝒎𝔢.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang