31

88 14 1
                                    

Semakin hari Azzurra kian diliputi rasa cemas. Melihat kondisi Uminya yang semakin lemah dan semakin sering tak merespon saat di ajak bicara olehnya. Perubahan yang membuatnya di liputi perasaan takut dan was-was. Meski di sisi lain, dia merasa kasihan dengan kondisi ibundanya namun di sisi lain lagi Azzurra masih terlalu sayang untuk kehilangan sosok wanita baya tersebut. Banyak momen yang terukir semasa beliau masih sehat dan segar bugar.

Azzurra bukan ingin menyalahkan siapa-siapa, namun sikap dan sifat Abinya yang sangat keras dan suka mengabaikan mungkin menjadi satu penyebab keadaan itu terjadi. Masih ingat sekali, bagaimana Abinya begitu kekeh untuk menjodohkan dia dengan Fathan dan Uminya lah yang membela dan berdiri untuk pasang badan. Tapi Abinya terlalu kolot dan tak memperdulikan.

Bahkan saat tau diri suami, dari putrinya Azzurra Abinya tak acuh saja. Dan umi yang menanggung beban pikiran dengan apa yang di alami oleh putri semata wayangnya. Hingga beliau merasa tak sanggup melakukan apapun. Sampai di suatu hari beban itu membuat kesehatannya mulai terkikis. Sakit strok yang menyerangnya secara tiba-tiba dan membuatnya lumpuh sampai sekarang. Tak ada kemajuan yang berarti meski Azzurra telah begitu telaten merawatnya. Azzurra hela nafasnya penuh-penuh. Rasa jenuh terkadang hinggap di benaknya jika mengingat banyak hal tak sesuai harapannya yang harus dia terima. Dari Abinya yang super-super kolot sampai untuk dekat dengan teman lelaki hukumnya haram.

Dulu, ketika Azzurra masih gadis, banyak laki-laki yang coba mendekatinya. Berlomba-lomba meraih hatinya, tapi Azzurra terlalu takut untuk membuka hati. Hingga saat dia menikah, belum pernah dia tau apa itu jatuh cinta. Merasakan perasaan suka pada lawan jenispun belum pernah karena dia yang sangat-sangat menjaga diri dari pergaulan. Dia cuma punya sahabat satu orang. Itupun sang sahabat tak pernah main ke rumahnya di karenakan sungkan sama Abinya. Zurra tau bukan itu maksudnya. Tapi lebih menghindar karena Abinya yang terlalu penuh selidik dan menaruh curiga terhadapnya. Azzurra terima itu. Dia pun menyadari siapa dia, keluarga Abinya yang terlahir dengan menyandang nama besar kakeknya.

" Zurra..."
Dari arah pintu kamar Uminya Azzurra mendengar suara Abinya memanggil. Suara khasny yang berat dan penuh wibawa cukup jelas terdengar di telinganya.
" Iya Abii.."
" Abi ada acara besok. Mungkin beberapa hari baru Abi pulang.. kalo ada tamu, bilang saja, Abi ke luar kota.."
Azzurra menghela nafasnya dalam-dalam. Itu sudah bukan hal yang mengagetkan untuknya. Jawdal kesibukan ayahandanya yang tak pernah ada hentinya, baginya sudah seperti hal biasa yang mau tak mau harus dia maklumi. Meski jauh di lubuk hatinya dia merasa kecewa. Lelaki itu sudah melupakan keluarga kecilnya. Bahkan sosok istri yang dulu menemaninya di kala namanya belum sebesar sekarang, itupun tak lagi dia perdulikan. Untuk menjenguk ke dalam kamarnya pun sangat jarang dia lakukan. Bahkan tidak pernah. Tak pernah beliau melihat bagaimana Azzurra memandikan dan mengganti baju Uminya yang hanya bisa terbaring di tempat tidur. Melihat Azzurra ketika membersihkan pempers bekas pups dan air kecil lalu menggantinya dengan yang baru. Saat dia dengan wajah kelelahan selalu rutin mengganti sprai dan sarung bantal tempat Uminya menghabiskan setiap harinya. Tak pernah Abinya sekali saja duduk atau sekedar melihatnya sebentar melakukan aktifitas itu, terlebih pada wanita baya yang menjadi istrinya tersebut. Beliau hanya sibuk dengan dunianya. Hingga tentang tabiat Fathan menantunya saja beliau tidak tau. Atau pura-pura tidak tau..(???)

" Abi masuk sebentar ke kamar, Umi ingin melihat Abi.." Suara Azzurra bergetar, menyaksikan sorot mata yang berkaca-kaca di hadapannya, tanpa bisa berkata-kata. Sepertinya wanita itu sangat sangat merindukan sang suami. Memberi isyarat lewat jemarinya. Dan Azzurra cukup bisa mengerti.

" Abi buru-buru Zuu,, banyak pekerjaan yang harus Abi selesaikan untuk santriwan santriwati besok sebelum Abi pergi ke luar kota."
" Hanya satu menit Abi, apa itu sangat menyita waktu Abi???" Dengan suara yang sedikit tertekan Azzurra hampiri Abinya yang hanya berdiri di balik pintu kamar. Berdiri tepat di hadapan lelaki itu dengan raut wajah yang menahan kekesalan.

" Beliau istri Abi, bukan tamu asing yang sangat sulit untuk Abi beri waktu luang." Berkatanya lirih menahan tangis. Lelaki itu berdiri terdiam. Beberapa saat setelahnya dia mengikuti permintaan putrinya. Perlahan kiai Mohied membuka pintu kamar lebih lebar dan berjalan masuk dengan langkah kaki yang perlahan.
Sementara Azzurra mengikutinya di belakang. Lama dia hanya berdiri dan memperhatikan istrinya yang terkulai lemas di pembaringan. Nampak wajah wanita itu begitu sumringah. Sambil menangis berlinang ibunda Azzurra memberi isyarat jemarinya yang bergerak perlahan, agar kiai Mohied lebih mendekat. Lelaki itu menurut. Meraih jemari tangan istrinya dan merengkuhnya pelan. Namun kepala lelaki baya itu selalu menunduk. Entah kenapa.. Azzurra pun hanya bisa memperhatikan itu sembari menahan air mata. Sakit menyaksikan pemandangan itu. Sepertinya telah bertahun-tahun yang lalu momen itu ada. Tapi dengan keadaan dan kondisi yang sangat berbeda.

" Abi.. berkenan kah untuk sesekali menemani Umi di sini.. lihat Umi bahagia sekali Abi.." Tertahan suara Azzurra yang sudah bercampur dengan tangis. Sang kiai hanya terdiam sembari menggelengkan kepalanya lirih. Zurra gigit bibirnya dengan dada sesak karena isakannya. Terlebih perempuan baya yang tengah terkulai lemah saat itu. Begitu berguncang tubuh rentanya melihat gelengan kepala suaminya. Apalagi ketika lelaki itu beranjak berdiri dan tergesa pamit dari situ tanpa butuh jawaban persetujuan dari putri tunggalnya. Dengan langkah lebar dan buru-buru kiai Mohied bergegas mengayunkan langkah kakinya lebar-lebar meninggalkan ruang kamar istrinya yang masih saja menangis. Azzurra hanya sanggup diam tak berkata-kata. Menyembunyikan sakit hatinya karena sikap Abinya, demi melihat Uminya tak lebih tenggelam dalam kesedihan.
" Umi sabar yahh, nanti Zuu minta Abi untuk menemani Umi lebih lamaa.. sekarang Abi lagi ada undangan ke luar kota Umi.." Berkatanya mencoba menenangkan. Sembari jemari-jemari tangannya lembut merengkuh dan mengusapya penuh kasih.

Tak tega rasa hatinya menyaksikan raut wajah uminya yang nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. Mungkin karena penyakit strok yang di deritanya. Namun di hadapan beliau Azzurra selalu memperlihatkan ketegaran.

" Zuurraa.., kemasin gamis Abi beberapa potong, taruh di bag. Besok Abi tinggal berangkat pagi-pagi..!" Dari arah pintu yang agak jauh Azzurra mendengar suara Abinya yang cukup keras memanggilnya. Azzurra tahan nafas. Ingin rasanya dia marah dan berontak, namun setiap ingat dan memandang raut wajah ibundanya, benaknya terasa pilu.

" Bentar umi, nanti Zuu ke sini lagii.." Dengan perlahan wanita muda itu meninggalkan umi yang memandangi kepergiannya dengan sepasang mata yang masih sembab.

" Iya Abi.."
Sembari menjawab, Azzurra melangkah pergi meninggalkan kamar uminya dan menuju ke kamar utama orang tuanya yang kini hanya di huni sendiri oleh sang kiai..

Kisah Sedih AzzurraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang