part 02

1.6K 124 12
                                    

Author pov

" Kamu harusnya berterima kasih karena abi lakukan ini demi kebahagiaan kamu Zuu, mana mungkin abi rela memberikan kamu pada laki-laki yang tak tau asal usulnya. Bebet bobotnya dan yang paling "harus" itu tingkat keimanannya ??"

Sekali lagi gadis yang di panggil dengan sebutan Zuu itu hanya menunduk terdiam. Dia hanya bisa menerima semua ketentuan ayahandanya tanpa ada keberanian untuk berontak atau menolak. Terlebih dengan semua kriteria yang telah menjadi patokan dari orang tuanya dalam hal calon suami telah bisa beliau dapatkan. Tak ada hal atau celah yang bisa untuk Azzurra memprotes. Apalagi beralasan dengan  kata-kata tak ada rasa cinta. Dalam kamus keluarga besar kiai Mohied, hal itu tak berguna. Yang paling penting dan wajib hukumnya adalah tingkat religius dan ilmu agamanya. Minimal pernah lulus sekolah pondok itu sudah membuat sang Ayahanda sangat setuju. Tak perduli soal hagaimana perasaan putri tunggalnya. Tak perduli tentang kelanjutan setelah pernikahan itu terjadi dan Azzurra tak memiliki perasaaan apapun terhadap suaminya. Itu bukan sebuah hal krusial. Jaman dulu banyak dari anak-anak kiai menikah bukan atas dasar cinta. Tapi mereka bisa langgeng. Bahkan kebanyakan ta'aruf dan mereka tetap langgeng. Hidup bahagia sampai memiliki keturunan banyak. Itu juga bukan darat mutlak untuk dasar sebuah pernikahan dan hidup berumah tangga. Bagi ayahandanya, cinta bisa tumbuh nanti saat mereka mengarungi bahtera perkawinan. Dan ayahandanya Azzurra yakin sekali jika putrinya akan bahagia dengan pilihannya.

Terlalu sering kata-kata itu terucap dari laki-laki tinggi besar yang lebih sering menggenakan gamis dengan jambang yang sudah di tumbuhi uban menghiasi dagunya.
Dialah ustad Moehid noor, ayahanda dari Azzurra.
Orang yang cukup terpandang di kotanya.

" Zuu percaya semua ucapan abi.. Apapun yang abi dan umi ingin Zuu ikut aja.. "

Hanya kalimat itu yang sanggup gadis itu ucapkan dari celah bibirnya dengan sedikit bergetar. Sebush suara lembut dan sedikit lirih hampir menyerupai bisikan. Namun cukup untuk bisa di dengar kedua orang tuanya. Semakin menunduk wajah gadis itu.
Menyembunyikan banyak kekecewaan karena tak ada alasan untuk dia bisa membela diri dan menjaga hatinya. Percuma jika sudah menjadi kehendak Abinya itu berarti sebuah ultimatum.

Luka itu masih ada, bahkan tetap rapi mengisi setiap jengkal memori di kepalanya. Setiap sesuatu hal yang di putuskan Abinya sedikir banyak selaku menggores perih di hatinya. Tentang hidupnya tentang apapun itu tanpa terkecuali. Dan itu melahirkan rasa sakit yang sangat sebenarnya. Namun Azzurra tak bisa melakukan apa-apa. Dia satu-satunya putri mereka yang harus dan akan menjadi tumpuan kedua orang tuanya. Yang di pundaknya telah di bebankan untuk bertanggung jawab pada kebahagiaan dan martabat keluarganya. Mungkin salah satu tanggung jawab yang harus bisa Azzurra perlihatkan dengan dia menerima perjodohan itu. Karena sangat berpengaruh dengan kewibawaan nama besar ayahandanya juga keluarga besarnya. Meski sejujurnya dia merasakan sakit yang cukup dalam, tapi itu tak membuat Azzurra memiliki kekuatan, menolak permintaan Abinya.

" Umi mau kamu bisa terima dia Zuu.. dia baik.. ngerti agama dan abi sama umi juga sudah tahu dia sedikit banyak. Anaknya juga ganteng kan? sangat kebapakan.. Umi sangat berharap kamu bisa bersanding dengan nak Fathan dan memberi cucu yang lucu-lucu untuk kami.. "

Azzurra mengangguk dengan senyum pasrah.

" Iya umi.. Zuu mau ke kamar dulu, ada pekerjaan yang harus Zuu selesaikan dari kantor.. "

Kemudian bergegas gadis itu beranjak pergi tanpa menunggu kata iya dari kedua orang tuanya.
Lelah yang sangat mengusik segenap hati dan isi di kepalanya.

Dengan pelan dia pegang dahinya yang sudah sangat berat menumpuk beban pikirannya selama ini.
Samar ada butir yang menyembul di ujung matanya.
Jernih seperti telaga ketika bening air itu memenuhi sepasang mata indahnya yang berbulu lentik.

" Zuu bukan ingin tak ikhlas dengan pilihan abi dan umi, tapi perasaan Zuu yang tak bisa relaa umii... "

Tertegun gadis itu menatapi kaca cermin yang ada di dalam kamarnya.
Wajahnya terlihat sangat murung dan penuh kekecewaan.

" Ya Allah.., apakah ini salah? Hamba hanya merasa ini bukan yang seharusnya terjadi.. "

Tak kuasa lagi bening demi bening jatuh di pangkuannya.
Semakin lama kian deras mengucur dan membuat basah di wajahnya yang ayu.
Paras cantik seorang muslimah yang begitu memancarkan aura dan terlihat polos dan murni.

Azzurra, gadis yang tak pernah mengenal laki-laki dalam hidupnya.
Yang selalu menjaga jarak karena nasehat dan wanti-wanti kedua orang tuanya itu seperti doktrin yang di jejalkan setiap saat di masa dia mulai tumbuh remaja dan dewasa seperti sekarang.

Gadis yang terbilang sangat santun dan begitu menjaga sikap, yang terlihat mampu menipu jika mengamati rautnya.

Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun dia masih seperti remaja belia namun di balut kesahajaan yang membuatnya nampak dewasa.

Kecantikan luar dalam yang di milikinya yang sanggup membuat decak kagum pria saat berpapasan.

Aroma harum tubuhnya dengan balutan hijab yang senantiasa menemani aktifitasnya sehari-hari.

Sebuah kesederhanaan yang memikat yang dimiliki oleh sosok Azzurra..

Sayang.., dia seperti putri dongeng yang kecantikannya tak bisa di miliki dan hanya bisa di kagumi.

Malam merabat terus menuju tugas sejatinya. Melenakan gadis itu terpuruk diam dalam lelap tidurnya setelah merasa kelelahan menguras air mata.

Kisah Sedih AzzurraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang