part 23

555 50 34
                                    


Azzurra pov

Kulipat kembali dengan rapi mukena yang telah selesai aku gunakan untuk menunaikan sholat. Berjalan ke arah meja rias dan duduk menatap sosokku dicermin. Sepasang mata kulihat nampak sayu dan benar-benar kurang tidur.

Sekilas bayangan wajah Umi berkelebat dimataku dan membuat tangisku menyeruak pelan. Ada sakit yang aku rasakan di dadaku. Begitu tak tega aku memperhatikan rona yang telah bersemburat keriput karena usia. Perihh,, karena Abi yang sangat tak ada kepedulian dan hanya memikirkan dunianya sendiri.

Hingga Umi sakitpun Abi tak pernah menemani Umi. Beliau lebih memilih menghabiskan waktu untuk mempelajari atau membaca kitab. Apa harus begitu seseorang yang bergelar dan dipanggil dengan sebutan kiyai??? Apa harus sampai setenggelam itu menggeluti ilmu agama hingga menjadi bukan suatu masalah ketika menelantarkan istri??

Tapi itulah jalan yang dipilih Abi.

Kuseka butir-butir airmata yang masih menggenang dipipi. Dan mataku menangkap sebuah potret besar yang terpasang didinding kamar bersebelahan dengan meja rias. Potret pernikahanku dengan kak Fath.

Hhhhhhhh

Dia suamiku. Seseorang yang tetap harus ikhlas aku terima, meski perasaan itu terkadang begitu terpaksa. Aku bukan makhluk sempurna, bukan bidadari tanpa dosa. Dan aku tau setiap manusia pasti memiliki sisi keburukan. Itu yang selalu aku tanamkan dihati, saat aku harus selalu mendapati sikap menyakitkan dari suamiku.

Aku terima dia.
Benar- benar menerima dengan lapang dada. Mungkin ada banyak salahku ketika aku selalu mengeluh dan meratapi sebuah hal yang buruk terjadi. Aku coba merenungi. Mencoba menyelami keadaan kak Fath. Menerima segala kurang lebihnya. Meski aku tak mengerti sebuah lebihnya yang pernah dia perlihatkan terhadapku itu seperti apa dan aku belum pernah merasakannya. Tapi Aku coba selalu menghibur diri..

Mungkin, belum saja..

Selalu aku coba sepenuh hati menerima kehadiran kak Fathan sebagai suamiku. Terlepas dari perangainya yang seperti apapun, akupun terkadang merasa iba jika membayangkan dia harus berjibaku dengan pekerjaan yang hanya sebagai pegawai biasa di sebuah bank swasta di daerah yang kita tempati sekarang. Dia tak memiliki jabatan apapun dan seringnya mengandalkan gaji dari prestasi kerjanya. Seberapa banyaknya dia mampu merekrut seseorang untuk bisa menjadi nasabah. Dan itu butuh perjuangan. Namun dia bukan sosok yang bisa membaur dengan hangat. Terlebih dengan sesama teman kerjanya di kantor. Dia bukan tipe orang yang bisa ramah untuk menyapa siapapun dan lebih suka asik dengan dirinya sendiri.

Terkadang aku juga coba untuk bicara baik-baik, menyadarkannya jika sebuah pekerjaan itu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, seberat apapun yang harus dia kerjakan itu adalah bagian dari keharusan sebagai bawahan.

Tapi kak Fath bukan orang seperti itu. Setiap tugas pekerjaan selalu dia gampangkan hingga saat satu teman se-tim-nya bisa merekrut orang karena kegigihannya, dia lebih sering mendapatkan point 0.

Banyak temannya yang suka curhat tentang kak Fath padaku, tapi aku bisa apa?? Saat aku mencoba menyadarkannya, yang ada dia hanya marah-marah dan selalu berkata jika aku tak pernah kerja kasaran sepertinya. Selebihnya dia hanya akan meluapkan kekesalannya entah dengan cara apapun yang dia mau.

Aku bergidik jika harus mengulang hal-hal yang harus membuat pikiranku tertekan dan benakku sesak seketika.

Kak Fath selalu mengancam akan berhenti bekerja. Dan aku sangat yakin, dengan prestasi kerja yang samasekali tak dia miliki, besar kemungkinan dia akan dipecat dari kantornya lama-lama.
Tapi dia masabodo.

" Aku tuh masih bertahan disitu karena aku masih memikirkan keluarga kamu Zurra.. biar mereka enggak malu punya menantu pengangguran. Terlebih kamu."

Kisah Sedih AzzurraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang